Share |

Artikel 10

KITA HANYA BISA MENUNGGU


Acep Zamzam Noor


PEMILU 2009 merupakan perhelatan yang paling menghibur, paling tidak bagi saya pribadi. Kampanye sudah berlangsung jauh sebelum ada jadwal resmi dari KPU. Jalan-jalan dipenuhi baligo berbagai ukuran dengan sparasi warna alias full collors. Bukan hanya di jalan-jalan raya, jalan-jalan di kampung bahkan pematang sawah pun penuh dengan macam-macam baligo. Ketika saya tanya kenapa baligo dipasang padahal jadwal kampanye masih belum dimulai, tetangga saya yang menjadi caleg salah satu partai berkilah bahwa itu untuk sosiaslisasi. Semacam pemanasan pra kampanye, di mana para caleg memperkenalkan dirinya masing-masing kepada masyarakat. Yang punya kumis tebal akan memperkenalkan kumisnya, yang mempunyai senyum manis akan memperkenalkan senyumnya. Begitu juga yang mempunyai tahi lalat atau lesung pipit.


Ketika saya tanya berapa harga baligo per buahnya dan apakah ada pajak untuk pemasangannya di ruang-ruang publik, tetangga saya hanya tersenyum. Dia juga hanya tersenyum ketika saya tanyakan berapa jumlah baligo untuk sosialisasi dan berapa untuk kampanye resmi. Tentu saja saya tidak terus bertanya tentang berapa jumlah dana yang disiapkan dan berapa pasukan yang diturunkan sebagai tim sukses selama proses pencalegan berlangsung. Pemilu kali ini memang unik dan atmosfirnya berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pertarungannya bukan lagi antar partai, namun antar caleg sekalipun berasal dari partai yang sama. Logo-logo partai hanya sekedar pelengkap, yang terpampang besar-besaran justru wajah para calegnya sendiri.


Dan yang membuat saya terhibur tak lain karena wajah para caleg yang terpampang semuanya menampakkan kegembiraan dan keceriaan. Mereka selalu berpose dengan menyunggingkan senyum. Ada yang senyumnya formal dan sedikit tertahan, ada juga yang senyumnya lepas dan bebas. Beberapa caleg muda bahkan bergaya layaknya peragawan dan peragawati terkenal. Ada yang sambil mengibaskan rambutnya seperti iklan Sunsilk, ada yang sambil memamerkan giginya seperti iklan Pepsodent, ada juga yang sambil memperlihatkan otot-otot tubuhnya seperti iklan Kuku Bima. Semuanya nampak penuh semangat, gembira dan ceria.


Dari pemilu ke pemilu, sebagai penonton saya merasa takjub menyaksikan perilaku para caleg (juga anggota dewan yang sudah terpilih). Namun di antara pemilu-pemilu yang saya amati, pemilu kali ini sungguh merupakan peristiwa yang paling menakjubkan. Peristiwa yang membuat buku kuduk saya berdiri dan tubuh saya berkeringat dingin. Sebuah peristiwa teater dengan naskah tragedi sekaligus komedi yang paling spektakuler. Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya gambar yang dipasang pada stiker, poster atau baligo adalah logo partai, pada pemilu sekarang yang terpampang langsung potret calegnya sendiri, lengkap dengan kumis atau jilbabnya masing-masing.


Sungguh sebuah pertunjukan yang memukau. Sebuah fashion show yang dilakukan secara massal. Tulisan-tulisan lucu bahkan lugu bertebaran di mana-mana, juga pernyataan-pernyataan yang memuji diri sendiri sebagai caleg yang layak dipilih. Namanya juga kampanye, tentu saja mereka akan melupakan rasa risih atau malu yang kemungkinan akan muncul di kemudian hari. Potret para tokoh kenamaan pun disandingkan untuk menambah kharisma sang caleg, seolah antar mereka sudah demikian akrab. Bahkan nama leluhur atau orangtua juga di sebut-sebut. Sebuah paradoks, di satu sisi mereka narsis namun di sisi lain nampak kurang percaya diri.


Setiap ke luar rumah saya selalu berdoa agar mereka yang wajahnya terpampang di jalan-jalan semuanya lolos menjadi wakil rakyat. Saya cukup terhibur dengan kegembiraan mereka, dengan keceriaan mereka, dengan senyum mereka, dengan kumis mereka, dengan model rambut atau jilbab mereka. Juga dengan optimisme mereka. Kalau semuanya lolos, berarti kehidupan di lingkungan mereka tidak akan terganggu. Kegembiraan dan keceriaan mereka akan tetap memancar seperti sedia kala. Saya tak berani membayangkan bahwa di antara mereka kelak akan ada yang stres atau depresi, akan ada yang lari keliling kota memakai celana dalam, akan ada yang orasi di tengah pasar sambil membakar baju, akan ada yang dirawat di rumah sakit jiwa, akan ada yang gantung diri di pohon mangga.


Sebagai penyair yang jarang berurusan dengan angka, saya memang tidak tahu persis berapa jumlah partai yang ikut berkompetisi dalam pemilu kali ini dan berapa kursi yang tersedia buat para caleg yang konon mencapai ribuan jumlahnya. Bahkan saya tidak tahu apa saja syarat untuk bisa mendaptar sebagai caleg, yang jika terpilih akan mewakili rakyat duduk di parlemen. Apakah diperlukan bakat tertentu, penguasaan ilmu tertentu, tahapan akademik tertentu, latihan dan keterampilan tertentu, pengalaman dan kemampuan tertentu, laku spiritual tertentu, niat dan tujuan tertentu? Apakah diperlukan semacam rasa keterpanggilan yang heroik atau cukup sekedar keinginan saja?


Sebagai penyair tentu saja saya juga mempunyai keprihatinan terhadap kondisi bangsa yang dari hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan, tahun ke tahun rasanya semakin tidak menentu. Dan puncak dari semua ketidakmenentuan itu adalah terkuaknya kelucuan demi kelucuan. Bukankah sesuatu yang absurd pada akhirnya akan melahirkan kelucuan? Atau barangkali kelucuan inilah yang justru tengah dipersembahkan negara untuk menghibur rakyat agar senantiasa tersenyum di tengah segala kesusahannya.


Saya tidak akan merinci bagaimana kelucuan-kelucuan yang terjadi sejak persiapan pemilu, masa sosialisasi, berlangsungnya kampanye sampai perhitungan suara. Semua media massa, baik koran maupun televisi, sudah cukup lengkap memberitakan bagaimana peristiwa-peristiwa yang sering tak masuk akal terjadi di berbagai daerah. Sebuah kenyataan yang telah membuat para pelawak dan aktor handal negeri ini seakan mati kutu. Para pelawak dan aktor kalah jauh aktingnya dibanding para caleg yang bermain secara total-football itu. Kelompok-kelompok teater juga telah merasa kehabisan ide karena semua sandiwara, mulai dari tragedi sampai komedi, sudah dimainkan dengan sempurna oleh partai-partai peserta pemilu. Sementara para pengarang hanya manggut-manggut karena peristiwa demi peristiwa yang terjadi sudah jauh melampaui imajinasi mereka.


Kadang saya berkhayal seandainya pemilu dilaksanakan setiap tahun atau kalau perlu dua kali setahun, mungkin para pengusaha sablon dan kerudung akan tersenyum karena ada peluang meraup untung besar. Mungkin lapangan kerja akan bertambah lebar. Mungkin masyarakat yang kebelet menjadi caleg akan lebih tersalurkan hasratnya. Mungkin penonton seperti saya akan mendapat hiburan gratis terus-menerus. Kadang saya juga berkhayal seandainya pelaksanaan pemilu ditangani langsung oleh Depnaker, mungkin akan jauh lebih praktis dan hemat ketimbang diurus KPU yang boros dan kurang profesional. Bukankah mereka yang mendaptar menjadi caleg tak ada bedanya dengan para pelamar kerja?


Sekarang pemilu sudah berlalu, begitu juga pemilihan presiden. Kita hanya bisa menunggu apakah janji-janji yang diucapkan selama kampanye akan menjadi kenyataan atau terlupakan begitu saja, seperti biasanya


(2009)

Artikel 9

SASTRA DAN NEGARA



Acep Zamzam Noor


LAHIRNYA Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa. Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat impresif, imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.


Meski para pemuda yang kreatif itu selanjutnya tidak dikenal sebagai penyair, namun sejarah mencatat bahwa apa yang mereka ciptakan telah meletakkan pondasi bagi kemungkinan lahirnya sebuah bangsa, terutama dengan diikrarkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Melalui tangan para penyair setahap demi setahap bahasa Indonesia menemukan bentuknya, melalui tangan para penyair pula bahasa ini membangun kewibawaannya sebagai alat pemersatu bangsa. Puisi-puisi yang membangkitkan kesadaran serta kecintaan terhadap tanah air tak henti-hentinya ditulis para penyair, dari generasi ke generasi. Bahasa yang sebelumnya hanya lingua franca pun semakin diperkaya.


Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, J.E. Tatengkeng serta Amir Hamzah dengan puisi-puisinya yang romantik telah mengawal arah serta spirit perjalanan panjang bangsa ini. Kemudian disambung Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Trisno Sumardjo, Mansyur Samin, Hartojo Andangdjaja, Kirdjomuljo, Subagio Satrowardojo, Ramadhan K.H., Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar sampai Taufiq Ismail yang dengan caranya masing-masing telah ikut pula mengisi, mewarnai dan memaknai perjuangan dengan puisi-puisinya.


Pada masa-masa itu koran atau majalah yang menyediakan rubrik sastra tentu belum seperti sekarang, begitu juga dengan penerbitan buku. Namun pada masa-masa itu karya sastra justru banyak dibaca orang, terutama oleh kalangan terpelajar. Para pejabat, politisi atau aktivis pergerakan umumnya adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan kolonial, jadi mereka pernah merasakan bagaimana sastra diajarkan dengan sungguh-sungguh di sekolah. Juga bagaimana membaca dan menulis menjadi mata pelajaran yang sama pentingnya dengan pelajaran lain.


Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah Orde Baru, para siswa di Indonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5 sampai 32 buku setiap tahunnya. Begitu juga pada pada zaman kolonial, para siswa diwajibkan membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang tentunya. Dengan data tersebut wajar jika kebanyakan pejabat dan politisi kita sekarang tidak suka membaca karya sastra. Apalagi mengapresiasinya dengan sungguh-sungguh. Wajar pula jika kemudian kita sangat sulit menemukan pejabat, politisi atau siapapun yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.


Namun sastra hidup juga di luar sekolah. Meskipun tanpa diajarkan secara sungguh-sungguh toh puisi masih terus ditulis orang. Buku-buku puisi pun masih terus diterbitkan dengan berbagai cara. Kehidupan sastra masih berjalan meskipun rasanya semakin ekslusif. Hanya para penyair dan peminat puisi (umumnya calon-calon penyair juga) yang masih setia membaca dan mengapresiasi puisi. Sementara kaum terpelajar, lebih-lebih para pejabat dan politisi, nampaknya sudah tidak punya waktu dan kepedulian lagi. Dengan demikian sumbangan pemikiran, renungan, ekspresi keindahan maupun sikap kritis para penyair mengenai kondisi bangsa ini efeknya semakin kecil saja. Bahkan seperti angin lalu.


Para pejabat dan politisi sebagai pengelola negara tidak pernah mengambil inspirasi, manfaat apalagi hikmah dari apa yang telah ditulis para penyairnya dengan berdarah-darah. Begitu juga kalangan profesional seperti dokter, jaksa, hakim, pengacara, pengusaha, ulama, dosen atau semacamnya. Sekarang sulit sekali mencari orang yang masih mau memelihara kepekaan dalam dirinya. Sulit menemukan manusia yang masih tekun mengasah mata batinnya. Agama menjadi persoalan yang tak ada hubungannya dengan perilaku sehari-hari. Sembahyang atau naik haji menjadi hobi, begitu juga korupsi dan kolusi. Dokter yang tugasnya melayani malah ikut bisnis obat. Jaksa, hakim dan pengacara kerjanya hanya jual beli perkara. Pengusaha bersinergi dengan penguasa. Ulama menerima pesanan fatwa.


Gambaran di atas nampak sekali jika kita mengamati bagaimana para pejabat dan politisi berbahasa di televisi. Pidato-pidato yang diucapkan mereka terkesan datar, standar dan cenderung formal, baik dari sisi keindahan bahasa maupun kedalaman makna. Bandingkan misalnya dengan para pemimpin kita dulu yang pernah mengenyam pelajaran sastra secara sungguh-sungguh di sekolahnya. Pidato-pidato yang disampaikan baik oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, Sjahril, Natsir maupun Hamka bukan hanya hidup dan indah namun sangat dalam maknanya, yang membuat bulu kuduk siapapun akan merinding mendengarnya. Begitu juga dengan generasi yang berada satu lapis di bawahnya. Kata-kata yang diucapkan merupakan kata-kata yang telah mereka pahami, mereka hayati dan mereka jalani. Kata-kata yang keluar dari hati, penuh impresi dan imajinasi. Bukan seperti busa diterjen yang meluap di kamar mandi.


Belakangan kita menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra pada saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut ditayangkan televisi serta dipasang pada baligo-baligo ukuran besar. Namun entah kenapa sepertinya tak ada keselarasan antara teks (yang maunya bernilai sastra) dengan citra yang melekat pada pribadi mereka sebagai politisi masa kini. Kata-kata yang mereka ucapkan menjadi tidak maching dengan gerak bibirnya, dengan ekspresi wajahnya, dengan sorot matanya, dengan gestur tubuhnya, apalagi dengan suasana hatinya. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya asing bagi kehidupan mereka sendiri. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya belum benar-benar dipahami, benar-benar dihayati, apalagi dijalani.


Lantas apa yang harus kita lakukan? Selain pelajaran sastra dibenahi lebih serius di sekolah-sekolah, juga dibutuhkan terobosan dalam upaya mendekatkan karya sastra kepada pembacanya, kepada masyarakat luas. Terobosan harus segera dilakukan untuk kembali menyadarkan kita, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaaan yang semakin hari semakin sirna. Terobosannya harus dilakukan secara kreatif, impresif dan imajinatif, bahkan kalau perlu jeprut seperti yang dulu dilakukan para pemuda ketika mengucapkan sumpahnya, yang terbukti mampu menumbuhkan sikap kebangsaan yang berbuah kemerdekaan. Apresiasi sastra tidak bisa dilakukan secara datar dan standar saja.


Bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel dan esei. Sebuah bangsa tetap membutuhkan sastrawan, membutuhkan penyair serta masyarakat yang mempunyai minat baca tinggi. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang selama beberapa tahun terakhir sempat menghibur rakyat dengan sepak terjangnya yang kreatif, impresif dan imajinatif, kini pelan-pelan sepertinya mulai dilumpuhkan. Padahal apa yang telah dilakukan KPK sangatlah indah dan mencerahkan, terutama karena berhubungan langsung dengan hati nurani bangsa. Bagi saya pemberantasan korupsi sama indahnya dengan puisi. Sama mencerahkannya dengan apresiasi sastra.


Di tengah riuh-riuhnya kampanye pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu, saya iseng mengirim SMS kepada teman-teman: Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, lalu mati di tangan para politisi.


(2009)

Artikel 8

SISI SUFISTIK SI KABAYAN



Acep Zamzam Noor


DARI khazanah kebudayaan Arab kita mengenal nama Abu Nawas, seorang tokoh yang selalu dikaitkan dengan tingkah laku yang aneh, seenaknya, cerdik, konyol, kontroversial dan tentu saja jenaka. Di kalangan pesantren maupun masyarakat Islam pada umumnya, nama Abu Nawas ini sangat populer. Namun kepopuleran Abu Nawas lebih terkait dengan masalah kekonyolan, kelucuan dan kejenakaannya saja. Nama Abu Nawas pun seolah bermetamorfosis menjadi semacam tokoh rekaan untuk kisah-kisah konyol dan lucu. Atau untuk kisah-kisah yang berisi ejekan dan cemoohan. Kisah-kisah semacam ini diceritakan orang yang berniat melucu atau melawak dengan menggunakan Abu Nawas sebagai tokohnya. Nama Abu Nawas kemudian menjadi kelucuan itu sendiri, tak jarang orang sudah bisa tertawa hanya dengan mendengar namanya saja. Bahkan ketika menyaksikan atau mengalami peristiwa nyata yang tak masuk akal, konyol atau lucu misalnya, dengan spontan orang akan berkata: “Ah, dasar Abu Nawas!”


Tapi siapakah Abu Nawas? Tak banyak orang tahu bahwa Abu Nawas adalah seorang penyair. Nama lengkapnya Abu Nawas al-Hassan Ibn Hani al-Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, sekitar 757 Masehi, dari seorang ibu Persia dan ayah yang berasal dari Damaskus, Suriah. Dalam sejarah sastra Arab ia tercatat sebagai penyair terbesar pada zamannya. Selain dinilai sebagai penyair jenius, ia juga dikenal karena kesinisan puisi-puisinya dalam mengkritik penguasa serta keberaniannya menerobos batas-batas moral dan agama. Seperti halnya Omar Khayyam atau penyair-penyair sufi lainnya, puisi-puisi Abu Nawas penuh dengan idiom-idiom kegairahan yang seolah hanya bersifat badani, seperti anggur, mabuk dan birahi. Dalam banyak literatur Abu Nawas digambarkan sebagai penyair yang berwajah tampan, flamboyan, disukai dalam pergaulan namun perilakunya sangat paradoks. Bersama penguasa Abu Nawas hidup bergelimang kemewahan di istana, sekaligus sering juga meringkuk dalam pengapnya sel penjara.


Karena gaya hidupnya yang aneh, juga karena cara berpikir serta tingkah lakunya yang di luar kewajaran, Abu Nawas tak jarang disalahpahami orang. Anggur, mabuk, birahi atau kesinisan dalam puisi-puisinya sering hanya ditangkap pada permukaannya saja. Abu Nawas dianggap sebagai pelawak karena kekonyolannya, juga dituduh pelaku maksiat karena idiom-idiom puisinya yang erotis. Bahkan saking paradoksnya, ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas yang pelawak dan Abu Nawas yang penyair merupakan dua tokoh yang berbeda, padahal kedua Abu Nawas ini hidup pada zaman dan lingkungan yang sama, yakni pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan penggantinya, al-Amin, di Bagdad.


Membaca Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan karya Jakob Sumardjo membuat saya teringat kembali kepada cerita-cerita tentang Abu Nawas, yang juga tak kalah paradoksnya. Seperti halnya Abu Nawas, Si Kabayan juga sering dipahami sebagai tokoh yang bodoh, konyol dan lucu. Pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat juga menempatkan Si Kabayan tak lebih dari seorang pelawak, tokoh yang kepopulerannya tak bisa lepas karena kejenakaan tingkah lakunya.


Setelah Utuy Tatang Sontani mengangkatnya ke dalam drama berbahasa Indonesia, kemudian Eddy D. Iskandar membawa versi barunya ke layar film, cerita-cerita Si Kabayan bukan hanya populer bagi masyarakat Sunda namun juga dikenal luas oleh suku-suku lain. Namun itu tadi, Si Kabayan yang dikenal dan populer di tengah masyarakat adalah Si Kabayan yang pelawak, yang konyol dan malas. Maka ketika menyaksikan peristiwa konyol tertentu dalam kehidupan sehari-hari, secara spontan kita akan mengumpat: “Ah, dasar Si Kabayan!”


Jakob Sumardjo yang tengah khusyuk-khusyuknya mendalami artefak-artefak budaya Sunda lewat sejumlah penelitian yang tak kenal lelah, dengan buku terbarunya ini telah membuka pemahaman dan gambaran lain tentang sosok Si Kabayan. Di mata Jakob yang keturunan Jawa, Si Kabayan bukan hanya sosok konyol dan malas, namun juga seorang yang cerdas, bijak dan religius. Jakob telah mengangkat derajat Si Kabayan yang dipahami masyarakat luas sebagai pelawak ke maqom yang sebenarnya, yakni seorang mursyid yang sudah mencapai teu nanaon ku nanaon atau tidak apa-apa oleh apa-apa. Seorang guru sufi yang memberikan pencerahan bukan lewat kata-kata tinggi yang susah dimengerti, tapi lewat perbuatan-perbuatan kecil dan sederhana, yang sifatnya jenaka, santai namun penuh makna.


Buku yang menarik ini nampaknya merupakan kelanjutan dari buku-buku Jakob Sumardjo sebelumnya seperti Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda dan Khazanah Pantun Sunda, yang merupakan telaah cemerlang atas cerita-cerita rakyat Sunda, artefak yang diwariskan secara lisan dari sebuah kebudayaan yang berkarakter agraris dan berbasis masyarakat pedesaan. Lewat buku-bukunya tersebut Jakob berhasil menarik benang merah antara budaya peninggalan Hindu-Budha, masyarakat pedesaan yang berkarakter agraris serta napas keislaman. Dan jika benang merah itu terus ditariknya, pasti akan sampai juga ke dunia pesantren. Hikmah-hikmah atau ajaran-ajaran yang nilainya sangat dalam namun disampaikan secara santai dan jenaka, juga merupakan karakter dari budaya pesantren. Maka tak heran jika cerita-cerita Si Kabayan, juga sebagian cerita pantun sangat familiar di kalangan pesantren, khususnya pesantren-pesantren salaf. Kesaktian (seperti dalam cerita pantun) serta kejenakaan (seperti dalam cerita Si Kabayan) bukan hanya sekedar wacana bagi orang-orang pesantren, namun sudah menjadi perilaku itu sendiri.


Dalam budaya pesantren dikenal istilah khariqul ‘adah, yang artinya perilaku aneh, nyentrik, seenaknya, juga tingkah lakunya sering di luar perkiraan kebanyakan orang. Perilaku mahiwal ini dipunyai oleh kiai-kiai tertentu atau anak-anak kiai (yang biasanya nakal, jeprut, malas mengaji, berambut gondrong namun gemar berziarah ke makan para wali). Jika ada kiai atau anak kiai yang perilakunya seperti yang disebut di atas masyarakat sekitar biasanya dapat memahami dan memaklumi, bahkan menghormatinya sebagai orang “sakti” yang bisa memberikan berkah. Kadang keanehan atau kenyentrikan seperti itu diyakini sebagai proses menuju maqom tertentu dalam pencapaian spiritual, atau dianggap sebagai metode untuk menyampaikan sesuatu, mengajarkan sesuatu secara simbolik.


Banyak sekali kiai-kiai yang berperilaku aneh dan nyentrik, yang dalam menjalankan misinya memberikan pencerahan suka memakai logika atau perilaku ala Si Kabayan. Bukan hanya untuk urusan dakwah saja, tapi juga ketika harus mengatasi konflik atau mengambil keputusan atas suatu masalah berat, baik dengan internal pesantren, dengan masyarakat sekitar maupun dengan pemerintah sehingga laukna beunang caina herang. Persoalan yang berat kemudian menjadi cair, ketegangan tidak dilawan dengan ketegangan lagi.


Pada awal tahun 1980-an, Gus Dur banyak menulis kolom yang menceritakan perilaku kiai-kiai aneh dan nyentrik ini. Ada kiai sepuh, kiai kampung, kiai jawara, juga kiai muda. Ada kiai yang santrinya ribuan, ada kiai yang santrinya hanya belasan, ada kiai yang tidak punya santri sama sekali, dan ada juga kiai yang aktif berpolitik. Kiai-kiai yang diceritakan Gus Dur ini adalah mereka yang sangat memahami budaya dan lingkungannya, sangat memahami bahasa masyarakatnya dan umumnya mempunyai apresiasi terhadap tasawuf.


Jika membaca kembali kolom-kolom yang ditulis Gus Dur sebelum menjadi politisi ini terasa sekali adanya benang merah yang menghubungkan Si Kabayan dengan perilaku dan cara berpikir para kiai tersebut: santai, jenaka, konyol namun cerdas. Memang yang diceritakan Gus Dur kebanyakan kiai-kiai yang berasal dari Jawa, Madura dan Lombok, namun cerita tentang kiai-kiai Sunda juga tak jauh berbeda. Istilah khariqul ‘adah juga sangat dikenal di kalangan pesantren-pesantren Sunda. Pesantren-pesantren tua di sekitar Banten, Sukabumi, Cianjur, Garut dan Tasikmalaya banyak mempunyai kiai-kiai aheng yang bukan hanya nyentrik, namun juga sakti.


Kembali ke Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan. Seperti juga buku-bukunya terdahulu yang mengkaji pantun-pantun Sunda dengan cukup mendalam, lewat buku terbarunya ini Jakob Sumardjo telah melakukan sebuah pendekatan yang tepat terhadap cerita-cerita Si Kabayan yang populer itu. Dengan pendekatan hermeneutic yang khas miliknya, Jakob berhasil menguak sisi lain dari kekonyolan dan kejenakaan Si Kabayan, juga berhasil mendedahkan sisi sufistik di balik perilaku Si Kabayan yang jeprut itu.


“Pembacaan secara makrifat-esoterik akan menampilkan sosok Si Kabayan bukan tokoh lucu dan konyol, tetapi tokoh cerdas dan amat serius. Si Kabayan seolah guru keramat itu sendiri. Memang lagak lagunya kadang konyol, porno, tak waras, pokoknya mahiwal, aneh-aneh, tetapi itu hanya metode penyampaian ajaran belaka. Di Jawa Barat tokoh sejarah semacam itu adalah Haji Hasan Mustapa. Kisah-kisah hidupnya juga dipenuhi dengan gambaran-gambaran paradoksal. Itulah manusia yang telah sampai. Manusia insanul kamil pada tingkat makrifat. Tidak apa-apa oleh apa-apa lagi. Kehujanan tidak basah, kepanasan tidak kering. Kaya yang miskin. Cerdas yang bodoh. Mulia yang hina, hina yang mulai. Mirip Si Kabayan....” tulis Jakob Sumardjo di salah satu bagian bukunya.


Siapakah sebenarnya Si Kabayan? Berbeda dengan tokoh Abu Nawas yang jelas silsilah dan fakta sejarahnya, Si Kabayan hanyalah tokoh rekaan dari cerita-cerita simbolik yang beredar di tengah masyarakat pedesaan. Dengan kata lain cerita-cerita Si Kabayan adalah sebuah “metode” untuk menyampaikan ajaran atau kearifan yang dimiliki masyarakat Sunda. Meskipun tokoh dan settingnya lokal, dalam hal ini Sunda, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Tokoh pintar-pintar bodoh seperti Si Kabayan terdapat juga dalam versi yang berbeda di beberapa suku lain di Indonesia. Bahkan jika dipahami secara esoterik, cerita-cerita Si Kabayan bisa disandingkan dengan kisah-kisah para sufi dari Timur Tengah. Hanya saja cerita-cerita Si Kabayan sangat kuat unsur humornya, yang secara tidak langsung menunjukkan karakter masyarakat Sunda.


. Mengaitkan cerita-cerita Si Kabayan ke dunia tasawuf tentu bukan sesuatu yang aneh atau mengada-ada. Jakob Sumardjo selain mempunyai pengetahuan yang luas tentang sejarah kebudayaan, antropologi dan sosiologi, juga sangat paham tentang proses masuknya Islam ke wilayah Indonesia. Masuknya Islam ke Indonesia bukan lewat sebuah penaklukan politik, namun lewat persentuhan budaya. Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak dibawa oleh para politisi atau tentara, namun oleh para pedagang. Dan jenis Islam yang pertama-tama masuk ke Indonesia adalah tasawuf. Dan tasawuflah yang kemudian memelihara secara harmonis budaya-budaya yang sebelumnya sudah ada.


Begitu juga masuknya Islam ke tatar Sunda, pada awalnya meresap lewat budaya. Maka tak mengherankan jika Islam yang berkembang di tatar Sunda (seperti yang ditunjukan oleh para kiai maupun pesantren-pesantrennya kemudian) adalah Islam yang mesra, bukan Islam yang tegang atau beringas. Islam yang akrab dengan tradisi, yang mengapresiasi karya seni. Maka tak mengherankan jika masyarakatnya pun mempunyai rasa humor tinggi.


Di tengah krisis kepemimpinan dan ruwetnya dunia perpolitikan kita, membaca dan menghayati kembali makna yang terkandung dalam cerita-cerita Si Kabayan menjadi penting. Kita merindukan munculnya pemimpin, baik pemimpin nasional, lokal maupun agama, yang bukan hanya pintar namun juga sedikit bodoh seperti Si Kabayan. Bukankah kita sudah bosan dipimpin orang-orang pintar yang kepintarannya hanya digunakan untuk memintari orang lain? Kita merindukan pemimpin yang bukan hanya gagah namun juga mempunyai rasa humor tinggi. Bukankah kita juga sudah lelah dipimpin orang-orang gagah yang hobinya menindas sehingga tak ada kesempatan bagi rakyat untuk tersenyum? Menurut hemat saya, sosok seperti Si Kabayan sangat cocok untuk memimpin bangsa yang paradoks seperti Indonesia ini.


(2008)

Artikel 7

PUISI DAN PIDATO


Acep Zamzam Noor


KANG Maman harus bersyukur karena tak lama setelah mondok di berbagai pesantren ia berhasil menyunting seorang gadis manis asal Jatiwangi. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah menyunting gadis manis itu, ia merintis sebuah pesantren bersama mertuanya yang pengusaha restoran. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah merintis pesantren dan mendirikan madrasah ia kemudian banyak diundang orang untuk memberikan ceramah. Kang Maman harus bersyukur karena selain fasih mengutip ayat-ayat suci, ceramah-ceramahnya pun segar, penuh kelakar dan selalu diakhiri dengan doa yang membuat orang menangis. Kang Maman harus bersyukur karena setelah ceramah-ceramahnya diminati banyak orang ia kemudian dipanggil kiai. Kang Maman harus bersyukur karena setelah dipanggil kiai, ia berkenalan dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy. Kang Maman juga harus bersyukur karena setelah berkenalan dengan Ahmad Syubanuddin Alwy, tentu saja ia kemudian bersentuhan dengan puisi.


Mempunyai kemampuan berpidato adalah sebuah anugerah, begitu juga kemampuan menulis puisi. Dipanggil orang kiai adalah sebuah kehormatan, begitu juga dipanggil penyair. Antara kiai dan penyair ada perbedaan namun banyak juga persamaannya. D. Zawawi Imron, seperti yang kita kenal, penyair asal Madura ini puisi-puisinya sangat religius dan mutunya diakui para kritikus. Selain menulis puisi, ia juga banyak mengisi kolom-kolom keagamaan di berbagai media. Ia sangat akrab dengan K.H. A. Mustofa Bisri, juga dengan kiai-kiai terkenal lainnya. Tentu saja ia sangat fasih mengutip ayat-ayat suci karena memang jebolan pesantren. Tapi berbeda dengan kebanyakan mubalig yang sudah dipanggil kiai dalam usia muda, Zawawi Imron baru dipanggil kiai setelah usianya melewati angka 55.


Sementara Abdul Hadi W.M. yang tulisan-tulisan keagamaannya sangat menyentuh, puisi-puisi sufistiknya sangat menggetarkan serta kajian-kajian teologi maupun tasawufnya sangat mendalam, belum juga dipanggil kiai meskipun rambutnya sudah memutih semua. Begitu juga dengan Taufiq Ismail, yang semua orang tahu puisi-puisinya selalu menyeru pada kebenaran dan memerangi segala macam kemungkaran. Penyair ini juga dikenal sangat alim, taat beribadah, suka memakai peci, sering pergi ke tanah suci dan tidak pernah keluyuran malam hari. Namun entah kenapa sampai saat ini belum ada yang memanggilnya kiai.


Sebenarnya sebutan kiai tidak selalu ada hubungannya dengan kealiman atau ketaatan beribadat seseorang. Juga tidak selalu ada hubungannnya dengan ilmu agama atau dunia kepesantrenan. Sebutan kiai terdapat juga pada budaya yang sedikit banyak punya hubungan dengan dunia mistik. Dalam tradisi Jawa banyak benda-benda pusaka seperti gamelan, keris, pedang, tombak, kereta kencana sampai peralatan dapur dinamai kiai. Begitu juga dengan binatang-binatang piaraan yang dianggap keramat seperti gajah, kerbau atau kuda. Bahkan sebutan kiai juga bisa ditujukan kepada pohon beringin, tempat-tempat angker seperti hutan atau bukit. Di keraton Yogyakarta semua benda pusaka dinamai kiai, begitu juga dengan binatang piaraan. Di pinggiran kota Magelang ada sebuah bukit yang dinamai Kiai Langgeng, konon karena di bukit tersebut ada sebuah makam keramat.


Dengan demikian sebutan kiai bukan hanya milik orang yang dianggap menguasai ilmu agama saja. Dalang, pemusik karawitan, penari tradisional, pendekar silat, dukun atau orang pintar juga biasa disebut kiai atau kadang hanya disingkat “ki” saja. Sebutan kiai atau ki muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap benda, binatang atau manusia yang dianggap keramat dan diyakini bisa memberikan berkah atau kebaikan pada orang banyak. Begitu juga sebutan kiai dalam dunia kepesantrenan. Sebutan kiai tidak hanya diberikan pada orang yang alim saja, namun lebih-lebih pada mereka yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk masyarakat. Seorang yang berilmu tinggi namun tidak mau menerjunkan diri ke tengah masyarakat tidak akan pernah dipanggil kiai.


Dalam konteks ini sebutan kiai menjadi semacam anugerah atau gelar kehormatan untuk seseorang yang dianggap berjasa pada masyarakat. Seseorang yang menjadi tempat bertanya, tempat mengadu dan berlindung masyarakat di sekitarnya. Seseorang yang telah mampu mencerahkan masyarakatnya dalam banyak hal. Seseorang yang telah menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan tentu saja pihak yang pantas memberikan anugerah atau gelar tersebut hanyalah masyarakat, bukan pemerintah, bukan universitas, bukan media massa, juga bukan pesantren apalagi diri sendiri seperti yang banyak terjadi belakangan ini.


Maka jelaslah kenapa Abdul Hadi W.M. yang rambutnya sudah memutih semua masih belum dipanggil kiai. Kenapa Taufiq Ismail yang dikenal sangat alim, taat beribadat dan lewat puisi-puisinya selalu mengajak orang untuk kembali ke jalan yang benar, juga tak kunjung dipanggil kiai. Sementara Emha Ainun Nadjib yang jauh lebih muda (tentu saja rambutnya lebih gondrong) dibanding kedua penyair senior tadi malah sering dipanggil kiai, meski dengan mebel-embel mbeling. Cerita mungkin akan lain seandainya Abdul Hadi W.M. dan Taufiq Ismail aktif juga berkhotbah, memberikan ceramah agama, mengisi pengajian di masjid-masjid atau mengasuh majlis ta’lim.


Rasanya menarik jika membandingkan pidato dengan puisi, atau membandingkan mubalig dengan penyair. Pidato sebenarnya lebih dekat pada teater ketimbang sastra, sedang mubalig lebih mirip aktor ketimbang penyair. Maka seperti halnya aktor, seorang mubalig dituntut mempunyai vokal yang bagus, gerak tubuh yang lentur, juga stamina serta daya ingat yang tinggi. Seperti halnya aktor yang diharuskan menghapal naskah di luar kepala, mubalig wajib menghapal ayat-ayat. Dan seperti halnya aktor, mubalig juga dituntut memikirkan performance, paham bagaimana mengatur tempo dan tahu kapan saatnya berimprovisasi. Oya, beberapa tahun yang lalu saya pernah iseng membikin naskah pidato dan diberikan pada seorang aktor. Dan ketika aktor itu ditampilkan bersama para mubalig, lengkap dengan kostum ala Pangeran Diponegoro, hasilnya ternyata luar biasa.


Lalu bagaimana dengan penyair? Penyair pada dasarnya hanyalah penggubah syair. Jadi tak berbeda jauh dengan pengarang pada umumnya. Namun dalam khasanah kesusastraan lama terdapat tradisi yang disebut sastra lisan, di mana selain menggubah mereka juga menembangkan syair-syair karyanya di depan publik. Dengan demikian banyak penyair (biasanya disebut pujangga) yang dikenal secara langsung oleh publiknya. Tradisi sastra lisan ini masih terus berlanjut sampai sekarang meski dengan istilah yang kemudian kita kenal sebagai pembacaan puisi.


Berbeda dengan pidato yang melibatkan publik luas, pembacaan puisi biasanya hanya digelar untuk forum-forum khusus dan terbatas. Dengan demikian popularitas seorang penyair pun menjadi khusus dan terbatas pula. Jika ada penyair paling terkenal di negeri ini melakukan poligami, mungkin reaksi publik dan media massa tak akan seramai jika Aa Gym kawin lagi. Begitu juga kalau penyair bercerai dengan istrinya, rasanya tak akan seheboh jika Rhoma Irama menceraikan Angel Lelga misalnya.


Kenapa penyair tak mudah digoyang urusan pribadi? Hal ini disebabkan karena penyair tidak dibentuk secara instan oleh media massa semacam televisi. Juga tidak dibesarkan oleh eforia para penggemar fanatiknya. Keberadaan penyair ditentukan nilai karya serta integritas kepenyairannya sendiri. Maka puisi-puisi Chairil Anwar akan terus dikenang sekalipun semua orang tahu kehidupan pribadinya berantakan. Begitu juga dengan Rendra yang karya-karyanya tetap diminati meskipun pernah berpoligami. Keberadaan seorang penyair di tengah masyarakat adalah ikon, bukan idol sebagaimana artis. Ini juga yang membedakan antara kiai dengan mubalig. Kiai itu sebenarnya ikon, bukan idol. Makanya tidak semua kiai adalah mubalig kondang, juga tidak semua mubalig kondang otomatis kiai.


***


Saya senang sekali ketika mendengar Kang Maman, sebutan akrab dari K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, akan meluncurkan buku kumpulan puisi dan meminta saya menjadi salah seorang pembicaranya. Saya senang karena pergesekannya dengan sejumlah seniman telah memberi manfaat yang luar biasa. Kini dakwah-dakwah yang dilakukan Kang Maman menjadi lebih berbudaya, pidato-pidatonya pun lebih bernuansa. Kang Maman juga semakin akrab dengan berbagai jenis kesenian, baik tradisional maupun kontemporer. Dengan demikian visi keagamaannya semakin tercerahkan hingga mampu berapresiasi terhadap segala macam perbedaan, termasuk dalam hal keyakinan. Kang Maman tidak lagi menampilkan diri sebagai sosok pembela agama yang gampang menghakimi orang dengan salah dan benar. Puisi telah membuatnya memahami dan menghormati adanya keragaman. Hal inilah yang membuat saya merasa lega dan gembira.


Dalam forum diskusi ini saya tidak akan mengulas puisi-puisi Kang Maman secara langsung, itu sudah menjadi tugas rekan saya Ahmad Syubanuddin Alwy untuk membedahnya. Tugas utama saya justru menyoroti hal-hal yang terjadi dan berkembang di luar puisi. Menurut saya hal ini juga penting dibicarakan mengingat belakangan banyak terjadi kesalahpahaman tentang posisi dan peran kiai. Saya menduga, salah satu penyebabnya karena begitu banyak kepentingan (baik politis maupun ekonomis) yang telah ikut melakukan berbagai pelabelan terhadap kiai. Kita mendengar ada label kiai khos, ada label kiai mbeling, label kiai sejuta umat, label kiai gaul, label kiai selebritis, kiai modis, kiai politis dan semacamnya. Label-label yang kedengarannya ganjil itu kemudian berdampak seolah kiai tak ada bedanya dengan artis yang popularitasnya bisa diangkat secara instan dan kemudian jatuh secara instan pula. Diangkat ketika ratingnya di televisi tinggi, kemudian jatuh ketika sudah tidak laku lagi. K.H. Zainuddin M.Z. dan K.H. Abdullah Gymnastiar mungkin hanyalah contoh kecil dari kondisi ini.


Sebagai seorang teman yang mengapresiasi semua aktivitas dan kreativitas Kang Maman, saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pesan. Pertama, teruslah menulis puisi karena menulis puisi itu menyehatkan. Bukan hanya menyehatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kedua, berhatilah-hatilah terhadap godaan politik praktis karena politik jenis itu sering menyesatkan. Bukan hanya menyesatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kalau mau jujur, pada era sekarang belum ada seorang pun kiai yang sukses memberikan pencerahan dalam carut marut dunia perpolitikan kita. Alih-alih memberi pencerahan, malah masuk penjara karena terjebak korupsi. Ketiga, banyak-banyaklah bersyukur karena tidak semua orang bisa menjadi kiai sekaligus penyair. Menjadi kiai sekaligus penyair sudah merupakan nikmat yang besar, maka tidak perlu ditambah dengan label lain seperti broker politik atau tim sukses misalnya. Nanti malah ruwet jadinya.


(2007)

Artikel 6

GUS MUS


Acep Zamzam Noor


TAHUN 1987, di ruang makan Wisma Seni Taman Ismail Marzuki (TIM), Mas Zawawi Imron menyapa saya dengan penuh keakraban. Pria yang selalu gembira ini mengajak saya bergabung di mejanya, lalu dengan penuh semangat bercerita tentang hal-hal lucu, mulai dari anekdot politik sampai cerita yang berbau porno. Jidatnya yang lebar, matanya yang nyalang, kepalanya yang bergerak-gerak serta logat Madura-nya yang kental menambah kelucuan tersendiri. “Dalam menjalani kehidupan di dunia, kita tidak akan lepas dari tiga hal. Pertama pandangan hidup, kedua pegangan hidup, dan ketiga perjuangan hidup…” ujarnya. Ada sekitar enam penyair yang berkumpul di meja panjang itu, semuanya melongo. Mas Zawawi kemudian menjelaskan bahwa ketika masih muda dengan hanya memandang sudah bisa hidup, ketika menginjak paruh baya baru akan hidup kalau dipegang, dan setelah tua harus berjuang dulu agar bisa hidup. Lalu kami semua tergelak setelah paham ke mana arah cerita tersebut.


Puluhan penyair dari berbagai penjuru tanah air berkumpul di TIM. Waktu itu kami diundang Dewan Kesenian Jakarta untuk mengikuti Forum Penyair Muda 1987. Semua penyair menginap berdesakan di Wisma Seni yang mirip asrama haji. Di antara para penyair yang hadir banyak juga dari kalangan pesantren seperti Ahmad Syubanuddin Alwy, Mathori A. Elwa, Nasruddin Anshory, Jamal D. Rahman, Ahmad Nurullah, Ahmadun Yosi Herfanda dan Micky Hidayat. Mungkin karena sama-sama pernah menjadi santri (dan sama-sama warga NU) kami cepat sekali akrab, meskipun baru saja kenal. “Gus Acep, kalau memakai peci wajah sampeyan mirip sekali dengan Gus Mus ketika muda,” tiba-tiba Mas Zawawi berkata kepada saya. Tentu saja saya merasa kaget dan bertanya-tanya. Gus Mus siapa?


“Gus Mus itu Kiai Mustofa Bisri, beliau juga suka menulis puisi,” Mas Zawawi menjelaskan. Oh, kalau yang dimaksud K.H. A. Mustofa Bisri dari Rembang tentu saya sudah tahu, cerita tentang tokoh NU yang satu ini sering saya dengar dari paman saya, K.H. Dudung Abdul Halim, yang pernah sama-sama kuliah di Mesir. Sejak saat itulah saya menyebut K.H. A. Mustofa Bisri dengan Gus Mus, mengikuti Mas Zawawi. Sejak itu pula saya paham bahwa gus merupakan sebutan atau gelar untuk anak kiai, sebutan ini akan tetap melekat meskipun anak kiai tersebut sudah bermetamorfosis menjadi kiai. Atau gus tersebut sudah mempunyai anak atau cucu yang juga dipanggil gus. Tadinya saya menduga bahwa gus adalah kata lain dari kiai, makanya kaget sekali ketika Mas Zawawi memanggil saya dengan embel-embel gus, padahal saya bukan kiai.


Tiba-tiba saya jadi teringat pada Gus Ballon, Gus Suwage, Gus Jatnika dan Gus Bonsai, teman-teman kuliah saya di FSRD ITB yang kebetulan mempunyai nama depan gus meskipun tak ada hubungannya dengan pesantren. Saya juga teringat pada Gus Bachtiar, pelukis potret yang membuka usaha sablon di Garut. Atau Gus Jur (singkatan dari Agus Jurig), aktor teater berbakat dari Bandung. Sebutan khusus untuk anak kiai memang kurang dikenal di pesantren-pesantren Jawa Barat. Anak-anak kiai di Tatar Sunda pada umumnya dipanggil namanya saja. Di beberapa pesantren salaf sekitar Garut dan Cianjur ada juga anak kiai yang dipanggil ceng, namun panggilan ini pun dengan catatan: kalau perilaku anak kiai tersebut menunjukkan kualitas atau potensi kekiaian. Jadi kalau anak kiai perilakunya kurang terpuji, masyarakat tidak akan memanggilnya ceng.


“Kalau ada anak kiai yang kerjanya menjadi tim sukses atau broker politik, apa masih tetap dipanggil gus juga?” iseng-iseng saya bertanya pada seorang novelis Surabaya ketika pilgub Jawa Timur sedang kisruh-kisruhnya, ketika perpecahan PKB sedang seru-serunya, dan ketika sejumlah gus yang berbeda kepentingan bertempur satu sama lain. Novelis tersebut hanya mesem-mesem.


***


Tahun 1990, di Shoping Centre, tempat penjualan buku-buku diskon di Yogyakarta, saya menemukan sebuah buku yang berjudul Ohoi. Buku mungil dan tipis terbitan Pustaka Firdaus itu ternyata kumpulan puisi karya Gus Mus. Di Stasiun Tugu yang riuh namun teduh, di tengah orang-orang yang lalu lalang, sambil menunggu kereta api saya membaca dengan khusyuk puisi-puisi tersebut. Aneh, selalu ada yang berdesir di sekitar kuduk saya kalau membaca karya sastra yang ditulis orang pesantren. Begitu juga ketika saya membaca puisi-puisi Gus Mus. Pada dekade 1980-an belum banyak sastrawan dari kalangan pesantren yang karya-karyanya dibukukan, kecuali Emha Ainun Nadjib yang memang sedang ngetop-ngetopnya waktu itu. Nama lain yang bisa disebut paling Djamil Suherman, Ahmad Tohari, M. Fudoli Zaini dan D. Zawawi Imron. Sementara para penyair santri yang namanya saya singgung di atas masih bergulat mencari jadi diri di ruang-ruang sempit rubrik sastra, baik di koran maupun majalah .


Membaca puisi-puisi Gus Mus saya merasakan kenikmatan yang lain. Mungkin seperti nikmatnya minum kopi yang diseduh dengan air mendidih, aromanya masih terasa meskipun kopi tersebut sudah habis direguk. Membaca puisi-puisi Gus Mus juga membuat saya tercerahkan. Mungkin seperti makan rujak, rasa pedas yang meresap di lidah reaksinya langsung nembak ke kepala. Pikiran yang tadinya penat mendadak segar kembali. Saya pun tersenyum. “Wah, kenapa saya tidak menulis puisi yang asyik seperti ini,” seru saya dalam hati. Ungkapan-ungkapan Gus Mus yang langsung, telanjang, jernih dan tepat sasaran memang sangat menggoda saya. Sepertinya mudah, namun tidak sembarang penyair bisa melakukannya. Sepertinya ringan, namun memberi kearifan pada kata-kata biasa bukanlah perkara sederhana. Pas sekali kalau Gus Mus menyebut karya-karyanya sendiri sebagai puisi balsem.


Puisi-puisi yang ditulis Gus Mus bukanlah jenis puisi yang bergulat dengan perambahan estetika yang sering berujung pada kegelapan makna, bukan puisi yang intens menggali kemurnian bunyi dan magi kata seperti halnya mantera, bukan pula puisi yang luluh dalam suasana sehingga menghadirkan impresi-impresi ngungun dan samar. Namun puisi yang sadar akan fungsinya sebagai penyampai pesan, puisi yang memanfaatkan kekuatan retorika meski tidak jatuh sebagai pidato. Selalu tersedia sebuah ruang di mana pembaca bisa termenung, terhenyak, terhanyut atau sekedar tersenyum. Bahasa yang digunakannya sejenis bahasa grafis yang plastis dan efektif, bahasa dengan karakter lisan yang kuat. Dalam perpuisian Indonesia mungkin bisa dibandingkan dengan puisi-puisi Rendra atau Emha, meski pada Gus Mus lebih menonjol unsur humornya. Tentu saja humor khas pesantren.


Saya membutuhkan waktu lima tahun untuk bertemu dengan Gus Mus sejak pertama kali mengapresiasi puisi-puisinya. Tahun 1995 saya diundang untuk mengikuti International Poetry Reading pada Festival Istiqlal II di Jakarta. Saya senang sekali karena Gus Mus, penyair NU yang bikin penasaran itu, terdaptar sebagai peserta dari Indonesia. Meski kami menginap di hotel yang sama, ternyata tidak mudah menemuinya. “Pak Kiai jangan diganggu dulu karena sedang menerjemahkan puisi-puisi dari penyair Mesir,” kata Hamid Jabbar. Sampai beberapa hari festival berlangsung Gus Mus belum kelihatan. Baru pada giliran beliau baca puisi di Graha Bakti Budaya TIM saya punya kesempatan menemuinya. Saya sowan, saya memperkenalkan diri sebagai warga NU, lalu mencium tangannya. Inilah ritual warga NU kalau berhadapan dengan kiai yang dihormatinya.


“Saya bukan penyair serius. Saya hanya mencoba-coba saja menulis puisi. Belajar pada karya-karya penyair lain, kemudian mereka-reka sendiri dan jadilah tulisan yang seperti puisi,” begitu kurang lebih ucapan Gus Mus yang masih terekam dalam ingatan saya. Sebuah pengakuan yang menunjukkan kerendahan hati tentunya. Pengakuan semacam ini beliau ulangi lagi pada tahun 2002. “Ketika menulis saya tidak berpikir apakah tulisan saya akan diterbitkan atau tidak. Ketika akan diterbitkan pun, saya tidak berpikir apakah ada yang akan membaca atau tidak. Bahkan saya tidak berpikir apakah tulisan saya pantas atau tidak disebut puisi. Biar semua itu orang lain yang memikirkannya. Tugas saya hanya menuliskan apa yang ingin saya tulis…” tulis Gus Mus dalam pengantar kumpulan puisi Negeri Daging.


Saya termasuk warga NU yang tergoda oleh Gus Mus. Bukan hanya tergoda oleh puisi-puisinya yang segar, namun juga oleh sosoknya sebagai penyair, sebagai seniman, sebagai kiai. Tak banyak tokoh NU yang masih memikirkan NU dengan tulus, yang masih punya kepedulian pada warganya di desa-desa. Tak banyak tokoh NU yang masih berkirim surat untuk mengingatkan sejawatnya yang mulai lupa diri. Tak banyak tokoh NU yang secara sadar mengambil jarak dengan kekuasaan, sekalipun kekuasaan itu tengah berada dalam genggaman sahabatnya. Lebih dari semua itu, tak banyak tokoh NU yang mampu berekspresi dengan beragam media. Gus Mus berekspresi lewat lisan, tulisan dan lukisan. Gus Mus seorang seniman. Konfigurasi iman, akal dan rasa menyatu utuh dalam dirinya.


Saya menduga, jangan-jangan sikap dan semua perbuatan baik yang saya paparkan di atas disebabkan karena Gus Mus seorang penyair, karena Gus Mus menulis puisi. Seandainya Gus Mus hanya sekedar kiai misalnya, mungkin saja sekarang beliau tengah bertarung dengan Muhaimin Iskandar memperebutkan jatah capres dari PKB. Atau sedang menuntut Mahkamah Konstitusi karena tidak menerima kekalahan jagoannya dalam pilgub Jawa Timur. Atau sedang sibuk istighosah keliling bersama Prabowo, Wiranto atau Sutiyoso. Atau malah sedang mengobral suara warga NU ke partai-partai lain. Dan seandainya dugaan saya benar, maka puisi harus segera dipertimbangkan untuk diajarkan di pesantren-pesantren. Dengan mempelajari dan mengapresiasi puisi, siapa tahu para politisi NU yang kebanyakan alumni pesantren itu akan meningkat kualitas mental maupun spiritualnya, paling tidak mempunyai rasa malu dan tidak ribut melulu seperti yang terjadi selama ini.


***


Setelah bergulirnya era Reformasi saya menjadi lebih sering bertemu dengan Gus Mus, bahkan kesempatan untuk kongkow-kongkow dengannya terasa lebih leluasa. Banyak acara di Jakarta, Surabaya, Yogyakarta atau kota lain yang kebetulan melibatkan saya dan Gus Mus di dalamnya. Bukan hanya acara yang berhubungan dengan sastra, juga yang berkaitan dengan seni rupa. Sekali waktu pada pertengahan tahun 2003 di Surabaya, lukisan Gus Mus yang berjudul “Berzikir Bersama Inul” yang sedang dipamerkan dituduh telah melecehkan agama. Panitia diancam akan diobrak-abrik kalau tidak segera menutup pameran tersebut. Panita sempat panik, namun Gus Mus tenang-tenang saja, asyik merokok sambil bercerita tentang kebebasan berekspresi. Ketika tekanan semakin keras pada panitia, beliau mengundang para pengancam untuk berdialog. Namun mereka yang mengatasnamakan ormas Islam itu tidak berani datang.


Selama berlangsungnya acara kami sering menginap di hotel yang sama. Nampaknya Gus Mus tidak pernah datang sendirian, selalu didampingi istri, anak-anak atau kerabatnya. Dan jika ada undangan makan di luar hotel kadang saya diajak serta. Danarto, sastrawan yang terkenal hobi makan enak beberapa kali mentraktir kami sepuasnya di restoran Jepang. Almarhum Amang Rahman yang lukisannya baru terjual juga pernah mentraktir kami. Meskipun begitu saya tetap merasa berjarak, tetap merasa sungkan jika berhadapan langsung dengan Gus Mus. Saya lebih banyak mendengar ketimbang berbicara.


Kalau sedang berkumpul satu meja dengan Gus Mus, diam-diam saya suka memperhatikan wajahnya. Rambutnya sudah beruban, begitu juga sebagian alisnya. Hidungnya lumayan mancung, rahangnya kokoh dan dagunya sedikit panjang. Saya teringat ucapan Mas Zawawi yang pernah mengatakan wajah saya mirip dengan wajah beliau ketika muda, namun miripnya sebelah mana saya tidak tahu. Saya perhatikan baik-baik gayanya merokok, wow sangat penyair sekali. Beliau mengisap pipa gadingnya dengan penuh perasaan, kadang dengan mata yang dipejamkan pelan-pelan. Saya perhatikan kacamatanya, model anak muda tahun 1980-an. Batu cincinnya biru, kemungkinan besar dari jenis safir. Saya ingin sekali meminjam cincin tersebut sekedar untuk mengamati keaslian batunya, tapi tidak berani.


Jangan-jangan yang dimaksud mirip oleh Mas Zawawi hanyalah karena kami sama-sama memakai kacamata, menyukai batu cincin dan perokok berat. Saya tidak tahu apakah Gus Mus suka minum kopi, saya belum pernah melihatnya. Kalau ternyata beliau penikmat kopi yang serius, berarti kesamaan di antara kami bertambah satu lagi. Saya juga tidak tahu apakah Gus Mus keranjingan lagu-lagu dangdut dan suka berjoget sendirian seperti saya, rasanya kurang enak menanyakannya. Yang jelas Gus Mus suka memakai celana jeans kalau sedang santai. Sekali-kali suka bersiul, namun tidak jelas apakah lagu Umi Khulsum, Evie Tamala atau Rhoma Irama yang disiulkannya itu.


Kadang saya berkhayal seandainya tokoh-tokoh NU semuanya santai seperti Gus Mus mungkin Indonesia akan aman. Mungkin jam’iyah NU akan tenang dan damai. Mungkin PKB yang menjadi kebanggaan kaum nahdliyin tidak akan terpecah menjadi serpih-serpih kecil. Mungkin para politisi NU tidak akan kampungan dan kekanak-kanakan. Saya tiba-tiba teringat almarhum ayah saya, yang bersama-sama dengan Gus Mus (juga Gus Dur dan K.H. Muchit Muzadi) mendeklarasikan kelahiran PKB sebagai wadah politik warga NU. Bukan sebagai ring tinju warga NU. Bukan pula sebagai toko kelontong warga NU.


Sekarang izinkan saya mengutip salah satu puisi pendek Gus Mus, yang menurut saya metafornya perihal dunia politik dan kekuasaan begitu kuat, keras dan menohok, namun tidak melukai. Dalam puisi ini nampak sekali kepiawaian Gus Mus membungkus kritik yang sebenarnya tajam menjadi sebuah renungan yang menggelitik:


Binatang apa kira-kira

Yang hendak membangun istana

Untuk kita semua?


Rasanya saya tidak pernah mengkhayalkan Gus Mus menjadi presiden, mungkin karena trauma dengan kegagalan Gus Dur dulu. Mengkhayalkannya menjadi ketua umum PBNU saja tidak berani, takut penyair kebanggaan kita ini tergoda menjadi cawapres seperti K.H. Hasyim Muzadi. Kalau hal itu terjadi, maka pengurus-pengurus NU di daerah yang umumnya kiai otomatis akan dikerahkan menjadi tim sukses. Dan ini sangat berbahaya bagi mentalitas warga NU. Menjadi tim sukses itu seperti mengkonsumsi narkoba, suka ketagihan dan sulit untuk berhenti. Setelah jagoannya kalah dalam pilpres misalnya, pasti ingin mengulangnya lagi dengan menjadi tim sukses pada pilgub, lalu menjadi tim sukses pada pilbup atau pilwalkot dan seterusnya. Lama-lama tim sukses menjadi semacam hobi yang mengandung zat adiktif, zat yang bisa membikin pelakunya sakaw.


“Seburuk-buruknya Perjuangan Adalah Menjadi Tim Sukses” demikian spanduk yang pernah saya pasang di pusat kota Tasikmalaya, beberapa tahun lalu.


Gus Mus tentu sangat paham seluk beluk dunia politik, makanya beliau tidak mau menjadi bagian dari kekisruhan politik praktis yang tidak memberikan manfaat apa-apa bagi siapapun. Apalagi bagi warga NU. Menurutnya, berpolitik adalah memperjuangkan nilai-nilai yang medannya bukan hanya di Istana, Gedung DPR/MPR, Pendopo atau semacamnya, namun juga di desa-desa, di mesjid-mesjid, di madrasah-madrasah, di forum-forum diskusi dan seminar, di panggung-panggung pertunjukan, di ruang-ruang pemeran bahkan di kedai-kedai kopi dan kaki lima. Gus Mus seorang penyair. Seorang seniman. Kedudukan atau jabatan apapun bukanlah sesuatu yang harus dikejar, apalagi jika mengejarnya dilakukan dengan cara-cara yang tidak puitis.


Dengan menempatkan diri sebagai penyair, seniman dan kiai sekaligus, saya kira beliau telah memilih posisi yang tepat bagi warga NU di semua lapisan. Dengan posisi tersebut beliau bisa menjalin komunikasi dengan warga NU di bawah, juga menjaga kehormatan NU sebagai jam’iyah terbesar di negeri ini. Dengan menjadi penyair beliau leluasa bicara perihal relung-relung terdalam batin manusia, juga mampu mendiagnosa kanker-kanker ganas yang menggerogoti tubuh bangsa. Sebagai penyair beliau juga bebas menyapa, mengingatkan, menegur atau mengkritik siapapun. Sebagai penyair beliau telah menjadi suara lain. Dengan demikian beliau telah berpolitik tanpa harus menjadi politisi praktis.


Saya tidak habis pikir, kenapa posisi yang indah, mulia dan bermanfaat bagi orang banyak seperti ini tidak pernah diperebutkan orang-orang NU? Kenapa posisi seperti yang dipilih Gus Mus bukanlah posisi yang seksi di mata anak-anak muda NU? Kenapa cita-cita semua kader NU sepertinya telah menjadi seragam, yakni menjadi anggota dewan? Kenapa pendidikan politik di kalangan NU selalu dimulai dengan menjadi demonstran, menjadi provokator, menjadi underbow, menjadi broker, menjadi tim sukses dan kemudian menjadi caleg? Kenapa slogan “maju tak gentar membela yang bayar” kini menjadi semacam ideologi yang diimani oleh hampir semua aktivis NU termasuk para kiainya?


Ah, jangan-jangan mereka sudah tahu bahwa menjadi penyair, selain tugasnya sangat berat juga tidak akan mendapat gaji dan tunjangan apa-apa dari negara. Atau jangan-jangan mereka juga sudah paham bahwa posisi seorang penyair tidak akan memberinya peluang atau kesempatan yang leluasa untuk melakukan korupsi seperti halnya anggota dewan atau ketua partai. Mungkin saja.


(2009)

Artikel 5

PUISI YANG MENGINGATKAN


Acep Zamzam Noor


APAKAH selama ini sastra diajarkan di pesantren? Secara khusus mungkin tidak, namun sastra bukanlah sesuatu yang asing bagi kalangan pesantren. Bahkan sastra seperti menemukan habitatnya di sejumlah pesantren. Hal ini bukan hanya ditunjukkan oleh kenyataan bahwa banyak sastrawan kita yang mempunyai latar belakang pesantren, tapi juga dibuktikan bahwa karya sastra, baik puisi maupun prosa, dari hari ke hari semakin disukai para santri. Dalam bentuknya yang berlainan satu sama lain, kegiatan sastra terus berlangsung di berbagai pesantren. Penulis-penulis baru pun bermunculan dari kalangan santri. Dan salah satunya adalah Ahmad Baequni.


Sebagai seorang santri, Ahmad Baequni sudah melanglang ke berbagai pesantren di Surakarta, Demak, Banyumas dan Yogyakarta untuk mengaji. Namun dalam perantauannya ia banyak bersentuhan dengan dunia kesenian. Bukan hanya menulis puisi, ia juga melukis, main musik dan sempat mendirikan kelompok teater. Maka ketika pulang kampung, selain membawa ilmu-ilmu kepesantrenan ia pun mengantongi bekal dari pengalamannya berkesenian. Pengalaman berkesenian inilah yang kemudian ia kembangkan di Babakan Ciwaringin, Cirebon.


Seperti juga di pesantren-pesantren yang lain, di Babakan Ciwaringin pun kesenian tidak diajarkan secara khusus, bahkan cenderung dinafikan. Namun karena Baequni bagian dari keluarga besar pesantren tersebut, nampaknya ia mempunyai keleluasaan untuk mengembangkan kesenian. Pelahan-lahan ia memperkenalkan kesenian pada lingkungannya. Ia memperkenalkan puisi, lukisan, musik dan teater sampai kemudian mendirikan sanggar sastra yang anggotanya para santri. Mereka selain belajar menulis dan mengapresiasi, juga belajar bagaimana mementaskan puisi. Sejumlah pementasan kemudian digelar, hingga kesenian pun bukan sesuatu yang asing lagi bagi lingkungan pesantren. Bukan hanya di pesantrennya saja, Baequni juga menjalin komunikasi dengan santri-santri maupun ustadz-uztadz dari pesantren lain di sekitar Cirebon dan membentuk sebuah komunitas kesenian.


Dengan dukungan berbagai pihak komunitasnya terus berproses hingga tercetus gagasan untuk membikin kegiatan yang sifatnya “sensasional”, meskipun tujuan utamanya bukanlah mencari sensasi. Gagasan tersebut adalah memecahkan rekor pembacaan puisi tunggal terlama di Indonesia. Tentu saja untuk memecahkan rekor nasional ini bukan hanya pementasannya yang harus serius digarap, tapi juga kesiapan mental dan ketahanan fisik. Ia harus menyiapkan stamina seperti layaknya pelari maraton. Konon yang dipersiapkan bukan hanya fisik, ia juga mohon doa dan restu kepada sejumlah kiai untuk lebih memantapkan tekadnya. Dibantu teman-temannya ia merancang konsep agar pembacaan puisinya menjadi tontonan yang menarik. Ratusan puisi karyanya sendiri dan juga karya penyair lain dikumpulkan. Setiap sore ia berteriak-teriak melatih vokal. Setiap pagi berolahraga, senam atau joging keliling pesantren. Setelah semuanya siap, Museum Rekor Indonesia (MURI) pun dihubungi.


“Semua ini saya lakukan semata-mata karena ingin kesenian mendapat tempat di pesantren dan kesenian pesantren bisa terangkat ke permukaan, alhamdulillah banyak pihak yang kemudian mendukung gagasan ini. Saya mohon doa agar rencana saya memecahkan rekor ini berhasil,” begitu katanya penuh semangat, waktu ia berkunjung ke rumah saya dengan membawa sebundel puisi.


Kenekadan Ahmad Baequni adalah kenekadan khas santri. Maka pada tanggal 23 sampai 25 Agustus 2005 lalu, dengan mengambil tempat di Grage Mall Cirebon dan disaksikan ratusan santri, rekor nasional pembacaan puisi tunggal berhasil ia pecahkan dengan catatan waktu 48 jam non-stop, meski setelah itu ia tumbang. Sebuah babak baru dalam upaya menggalakkan apresiasi puisi bagi kalangan pesantren telah dilaksanakan dengan baik, tentu saja babak ini harus segera disambung dengan kegiatan-kegiatan lain yang sifatnya literer. Bagaimana pun perjuangan literer seorang penyair adalah penguasaan bahasa, penggalian makna, pencapaian estetika dan seterusnya, yang mungkin sangat lain persoalannya dengan perjuangan memecahkan rekor yang cenderung mengandalkan fisik semata.


Untuk itulah ratusan puisi Ahmad Baequni yang ditulis dengan penuh semangat dalam dua tahun terakhir ini kemudian dikumpulkan dan diseleksi untuk diterbitkan sebagai buku. Hal ini pun karena dorongan sejumlah pihak, sebagai dampak dari keberhasilannya memecahkan rekor tadi.


***


Udara sangat panas, pohon-pohon pinggir jalan meranggas dan debu mengepul dari tanah yang mengering. Itulah Babakan Ciwaringin, sebuah kampung yang di dalamnya terdapat sejumlah pesantren dengan puluhan kiai, ratusan ustadz serta ribuan santri. Pesantren-pesantren yang namanya berbeda-beda itu berdempetan satu sama lain, begitu pula santri dari pesantren yang satu berbaur dengan santri dari pesantren yang lain. Bangunan-bangunan tua dan sederhana pun berjejer tanpa pembatas. Di masa lalu konon di situ hanya ada satu pesantren, namun setelah sekian generasi yang tentu saja diikuti dengan munculnya banyak kiai, berkembanglah seperti sekarang ini: masing-masing kiai mempunyai pesantrennya sendiri, wilayah kekuasaannya sendiri. Meskipun begitu, semua pesantren di kawasan ini dikenal sebagai Babakan Ciwaringin, yang atmosfirnya masih kental dengan kebersahajaan dan aromanya masih berbau pesantren tradisional. Ahmad Baequni, dengan sosoknya yang tinggi kurus, kulit sawo matang serta sorot mata tajam adalah bagian dari atmosfir dan aroma yang khas itu.


Membaca puisi-puisi Ahmad Baequni yang terkumpul dalam Aku Dan Singa Tua ini rasanya seperti menghirup udara yang panas, pohon-pohon yang meranggas serta debu yang mengepul. Ahmad Baequni menggunakan kalimat-kalimat langsung, telanjang dan tanpa perhiasan. Tak banyak upaya mengindah-indahkan kalimat, memoles kata-kata atau mereka-reka imaji. Ungkapannya lugas, apa adanya dan langsung pada sasaran:


Matinya ulama gelaplah agama

Matinya umaro antrilah pengganti

Matinya pelacur pusinglah germo

Matinya penjahat legalah masyarakat

Matinya koruptor sesaklah oknum aparat

Matinya penggugat tertawalah tergugat

Matinya maling nyenyaklah tidur

Matinya kekasih malaslah dunia

Matinya seniman redalah keindahan


Salah satu tradisi yang selama ini berlangsung di pesantren adalah tradisi lisan. Dibanding dengan tulisan, tradisi lisan lebih lekat dengan kehidupan pesantren. Tak heran jika orang-orang pesantren banyak yang lancar berbicara, terampil beretorika, bahkan tak sedikit dari kalangan mereka yang menjadi orator ulung yang mampu membakar massa dengan tablig-tablignya. Ahmad Baequni nampaknya menyadari bahwa kelisanan merupakan potensi yang juga bisa diterapkan dalam penulisan puisi. Strategi serupa memang telah lama dilakukan oleh A. Mustofa Bisri, kiai terkenal dari Rembang ini banyak menulis puisi-puisi lugas yang cerdas, kadang panas namun mengundang tawa. Belakangan Hasyim Wahid yang adiknya Gus Dur pun melakukan hal yang sama, menulis puisi-puisi kritis dan filosofis dengan gaya santai. Dan kalau kita mau menengok jauh ke belakang, para penyair sufi dari Persia banyak menggunakan bahasa yang berkarakter lisan seperti nampak pada puisi-puisi Nizami, Sa’di atau Sana’i. Begitu juga sufi-sufi dari Melayu atau Jawa. Bagi para sufi atau kiai, berpuisi nampaknya bukan sekedar mengungkapkan keindahan, tapi juga untuk menyampaikan pesan. Karena ada yang harus disampaikan pada khalayak, maka bahasanya pun dipilih yang komunikatif. Bahasa yang mudah dimengerti orang banyak.


Kembali ke Ahmad Baequni. Penyair yang sehari-harinya selalu memakai sarung dan kopiah ini memang memilih bahasa komunikatif untuk puisi-puisinya. Menulis puisi jenis ini tidaklah lebih mudah jika dibanding dengan puisi imajis yang ungkapannya cenderung gelap dan kata-katanya bersayap. Namun yang perlu diingat, bahwa kata-kata terang atau telanjang pun bisa saja menjadi gelap atau sulit dipahami, kalau memang penyairnya belum menguasai bahasa. Dengan kata lain dalam menulis puisi jenis apapun, penguasaan bahasa dan intensitas terhadap kata-kata, termasuk masalah kejelian memilih angel di dalamnya, adalah keharusan yang tak bisa ditawar. Dengan intensitas dan sudut pandang yang otentik sebuah puisi akan berbeda dengan pidato atau iklan, sekalipun yang digunakan adalah bahasa yang berkarakter lisan.


Dalam kadar tertentu Ahmad Baequni sudah menunjukkan upayanya dalam memainkan dan mengendalikan kata-kata, meski secara umum hasilnya masih terkesan datar-datar saja. “Peta Harapan”, “Fitrah”, “Karena Cinta”,”Lembayung Tua”, “Tolong Jangan Lupakan Aku”, “Persekutuan Waktu”, dan “Sengaja” dan terutama “Pintu Masuk” adalah puisi-puisi yang menunjukkan upaya itu. Puisi-puisi tersebut kebanyakan berangkat dari gagasan, pernyataan atau bahkan pertanyaan, sehingga lebih banyak melibatkan pikiran ketimbang perasaan. Puisi-puisi tersebut tidak berangkat dari suasana hati:


Aku mencintaimu dalam keadaan sakit

Berharap dekat denganmu bisa terobati

Asmara itu telah membuatku menjadi tangguh

Menghadapi tajamnya cobaan yang melukai hati

Semua luka tersembuhkan oleh cintamu


Krisis multi dimensi yang melanda bangsa kita juga mendapat perhatian sang penyair. Keterpurukan ekonomi, keruntuhan moral yang disebabkan kerakusan yang tak terkendali, korupsi yang semakin parah, kekerasan yang mengatasnamakan agama, kekisruhan politik yang tak habis-habisnya, hukum yang tak pernah bisa ditegakkan, para politisi yang semakin kekanak-kanakan dan masyarakat yang kemudian menjadi anarkis satu sama lain, menimbulkan rasa pesimis yang tak bisa dielakkan. “Aku Dan Singa Tua”, “Mengingat Zaman Edan”, “Sang Tambun Penikmat”, “Not For Sale!”, “Si Buta Dari Belantara Indonesia”, “Untitled II”, “Indonesia Dari Layar Kaca” dan “Bisakah Disembuhkan?” adalah puisi-puisi yang secara langsung berbicara tentang kondisi tanah air yang membuatnya seperti kehilangan harapan dan masa depan:


Ketika sang waktu kembali bertanya

Bagaimana khabar Indonesia?

Aku menjawab: “Indonesiaku sedang sakit”

Ketika sang waktu datang menjenguk

Indonesiaku masih sakit

Dokter bilang penyakitnya konplikasi

Indonesiaku malah pergi berburu

Memburu iblis untuk dipelihara


Ada banyak penyair kita yang menulis puisi sosial dan politik, tentu saja dengan aksentuasi yang berbeda-beda. Ada yang suka menuding seolah-olah kesalahan hanya milik pihak atau kelompok lain, ada yang melakukan refleksi terhadap berbagai kenyataan yang memilukan, ada yang meledek atau mentertawakan keadaan, dan ada juga yang hanya memberi kesaksian. Apa yang dilakukan Ahmad Baequni dengan puisi-puisi sosial dan politiknya ini mungkin lebih dekat pada refleksi. Dalam kebanyakan puisinya ia sering menarik keadaan atau situasi tersebut sebagai bagian dari dirinya. Atau ia menyelinap masuk ke dalam dan menjadi bagian dari persoalan yang dihadapinya, termasuk ketika ia bicara soal Aceh dan Amerika. Sebuah puisinya yang menafsirkan tentang kebhinekaan cukup menarik untuk kita kutip di sini, di mana penyair berhasil menggambarkan sebuah bangsa yang multi etnis dan agama dengan menyimbolkannya pada sesuatu yang tidak kita duga, yakni sebuah harmonika:


Setiap kali menjelang tidur

Kubunyikan harmonika

Meskipun sudah lelap dan semuanya tertidur

Nadanya masih sama

Mungkinkah pada pagi hari aku terbangun

Suaranya menjadi sumbang

Aku ingin Indonesia seperti harmonika

Satu barisan beraneka nada

Indah bagiku ketika terlantun lagu

Meskipun mulutku harus berpindah-pindah

Aku tetap mendengarkan nada

Nada yang membuat tidurku tak terganggu


Sebagai pendatang baru ungkapan-ungkapan Ahmad Baequni tentu saja belum secerdik atau secanggih penyair-penyair lain yang sudah berpengalaman, baik dalam memilih sudut pandang atau angel, mengolah simbol, menetapkan metafor maupun menggali kedalaman serta mengembangkan tema. Begitu juga dalam penguasaan serta keterampilannya dalam berbahasa masih sering nampak terbata-bata. Sebuah puisi yang berjudul “Ceritaku” mungkin sedikit menggambarkan bagaimana penyair yang berambut gondrong dan keriting ini sibuk bergulat dengan gagasan yang ingin diungkapkan serta berjibaku mencari cara bagaimana mengungkapkan gagasan tersebut secara tepat:


Selepas berzina aku berdoa

Dengan telapak tangan yang kotor aku meminta

Dapatkah aku bersembunyi dari mata manusia


Selesai maksiat aku menunduk

Di atas sajadah bau, aku bosan membenturkan jidatku

Bisakah aku memungkiri nikmat dunia


Ahmad Baequni menebar perhatian terhadap banyak soal, dengan konsentrasi yang kadang melebar. Jika saja ia mau lebih khusyuk mengolah tema-tema kecil atau keseharian, tema-tema yang ia kenal atau dialaminya secara empirik, mungkin sesuatu yang khas dan unik akan segera nampak. Dalam sejumlah puisi-puisi pendeknya ia justru berhasil memaknai benda-benda seperti pintu, kursi, asbak atau televisi dengan sudut pandang yang personal. Begitu juga sewaktu melukiskan perilaku keseharian orang-orang di sekitarnya, ia sampai pada analogi-analogi yang segar. Namun ketika ia tergoda mengangkat tema-tema besar seperti ideologi, politik atau realitas sosial, entah kenapa ungkapan-ungkapannya cenderung mengarah pada kemarahan, seperti yang nampak pada kutipan di bawah ini:


Soekarno gila wanita, jadilah beliau sang Arjuna

Soeharto gila harta, satu-satunya penguasa terlama di Indonesia

Habibie dianggap gila, karena melepas Timor Timur dari Indonesia

Abdurrahman Wahid juga dituduh gila dan dikelilingi orang-orang gila

Megawati Soekarno Puteri seperti kerbau betina yang hampir gila,

karena dicambuk kusir gila

Susilo Bambang Yudhoyono pusing mengatasi orang-orang gila,

makanya dengan berat hati beliau mengeluarkan kebijakan agak gila

Sampai saat ini banyak orang gila bersembunyi di mana-mana

hingga menemukan rumus jitu agar terhindar dari razia orang gila


***


Saya menulis catatan ini selain sebagai pengantar apresiasi bagi kumpulan puisi pertamanya, juga merupakan empati saya terhadap upaya yang dilakukan Ahmad Baequni dan kawan-kawan dalam menggalakan kesenian, khususnya sastra, di lingkungan pesantren. Bagi saya gerakan kesenian di pesantren menjadi penting bukan semata untuk memberikan pencerahan bagi para santri namun juga sebagai bentuk perlawanan terhadap berbagai upaya politisasi yang semakin mengabaikan nilai dan etika kepesantrenan. Maka ketika orang-orang partai serta broker-broker politik mengotori pesantren, penyairlah yang harus membersihkannya. Atau paling tidak bisa mengingatkan para kiai agar lebih berhati-hati dan sadar akan posisinya.


(2006)

Prev Next Next