Share |

Artikel 3

SUNDA SANTAI, ISLAM SANTAI


Acep Zamzam Noor


BEBERAPA tahun yang lalu saya dan teman-teman mengadakan “pengajian budaya” di komplek Pondok Pesantren Cipasung dengan menggelar kesenian-kesenian tradisional Sunda yang masih tersisa di sekitar Tasikmalaya dan Ciamis. Di antara jenis kesenian yang sempat ditampilkan pada program bulanan itu ada yang benar-benar buhun seperti Pantun Beton, Calung Tarawangsa, Beluk, Terebang Gebes, Terebang Sejak, Genjring Ronyok dan Ronggeng Gunung. Menyaksikan kesenian-kesenian yang sudah sangat langka tersebut, saya seperti menemukan kembali benang merah yang mengaitkan kesenian-kesenian tersebut dengan Islam, khususnya dengan budaya pesantren. Keterkaitan itu mungkin karena kesenian-kesenian buhun tersebut telah dipengaruhi budaya pesantren, namun bisa juga terjadi sebaliknya: kesenian bernapaskan Islam yang dipengaruhi budaya Sunda.


Masyarakat Sunda sudah terbentuk jauh sebelum Islam masuk. Sebelum datangnya Islam, selain sudah memeluk agama sendiri masyarakat Sunda juga sudah memiliki beragam jenis kesenian, termasuk sastra di dalamnya. Almarhum M. Holis Widjaja, salah seorang dalang Pantun Beton paling senior di Tasikmalaya, pernah mengatakan bahwa seni pantun merupakan jenis sastra tutur yang sangat tua dan sudah dikenal sejak beradab-abad lalu. Maka tak mengherankan jika dalam setiap pementasannya, seorang dalang (juru pantun) selalu mengawali dengan pembacaan rajah, semacam mantera untuk memohon restu dan keselamatan kepada para leluhur, batara-batari dan dewa-dewi. Setelah pengaruh Islam masuk, rajah atau mantera tersebut tidak dihilangkan namun permohonan restunya disampaikan juga kepada Allah, Rasulullah, para wali, para kiai dan tokoh-tokoh setempat. Meskipun begitu, sesaji yang terdiri dari ubi-ubian, rupa-rupa kembang, rumput palias, minyak wangi, beras, telur, kopi, cerutu dan ayam saadi tetap harus dipenuhi sebagai syarat berlangsungnya pementasan.


Calung Tarawangsa yang masih bertahan di daerah Cibalong juga sudah ada sejak berabad-abad lalu, meskipun dari mana asalnya sulit untuk ditelusuri. Kesenian ini hidup secara turun-temurun, baik musik, lagu maupun syairnya hanya diajarkan dari mulut ke mulut, tanpa teks tertulis. Menurut Pak Aseng yang mengetuai kelompok ini, tak semua orang bisa menjadi penembang tarawangsa. Ada beberapa ritual yang harus dilewati seperti puasa dan tirakat. Banyak yang percaya bahwa kesenian ini bisa mendatangkan mahluk gaib ketika pementasan berlangsung. Kesenian ini dipentaskan bukan semata untuk hiburan, tapi juga sebagai terapi penyembuhan bagi orang sakit, bahkan bisa membawa keberuntungan jika dimainkan saat hajatan atau menjelang panen. Belakangan hal-hal yang berbau mistik tersebut dikurangi karena menyesuaikan diri dengan perkembangan masyarakat sekitar yang semakin nyantri. Calung Tarawangsa masih sering dipentaskan sampai sekarang, meski lebih sebagai tontonan biasa.


Terebang Gebes adalah satu di antara beberapa jenis kesenian buhun yang masih hidup di kampung Cirangkong, sebelah barat daya Singaparna. Kesenian terebang ini meski sudah ada sejak dahulu kala, namun bisa dipastikan muncul setelah masyarakat Sunda memeluk Islam. Terebang adalah sejenis alat musik perkusi seperti halnya rebana, genjring atau bedug yang sangat identik dengan kesenian Islam. Di kawasan Priangan kesenian semacam ini banyak sekali jenisnya, yang umumnya berfungsi untuk mengiringi tembang atau shalawat. Namun perkusi dari Cirangkong mempunyai keunikan tersendiri, selain terbuat dari kayu nangka yang sangat berat karena ketebalannya, kulitnya pun harus dari kulit kerbau yang belum disamak. Kesenian ini juga tak lepas dari hal-hal yang berbau mistik. Dulu kesenian terebang yang satu ini sangat digemari dan sering dijadikan arena adu kekuatan hingga tangan dan punggung para penabuhnya mengeluarkan darah.


Menurut Mang Ipin, yang mengasuh beberapa kelompok kesenian buhun di Cirangkong, kesenian terebang bisa hidup sampai sekarang karena masyarakat masih membutuhkan. Seperti juga kesenian-kesenian buhun lainnya yang masih bertahan, Terebang Gebes pun melakukan berbagai penyesuaian dengan kondisi lingkungan sekitar. Kini tak ada lagi sesaji atau kemenyan yang dibakar menjelang pementasan, begitu juga atraksi adu kekuatan sampai mengeluarkan darah jarang sekali dilakukan. Selain Terebang Gebes dan Beluk, di Carangkong masih hidup beberapa kesenian lain seperti Terebang Sejak, Rengkong, Debus dan juga Lais. Hampir semua pendukung dari kelompok-kelompok kesenian ini adalah petani, yang sehari-harinya juga aktif mengikuti pengajian di masjid.


Keterkaitan berbagai kesenian Sunda dengan Islam sudah mempunyai sejarah panjang, termasuk juga dengan Wayang (golek dan kulit) yang pada beberapa bagian lakon dan tokoh-tokohnya mengalami penyesuaian dengan kepercayaan Islam, bahkan menjadi media dakwah Islam. Demikian juga halnya dengan bidang sastra, para peneliti telah mencatat begitu banyak karya-karya klasik seperti wawacan (baik asli maupun saduran) yang berisi uraian-uraian tentang agama seperti fikih, akhlak, tasawuf, tarikh serta riwayat nabi yang ditulis para pujangga Sunda abad ke-19, dari mulai R. Bratadiwidjaja yang menyadur Wawatjan Bidajatussolik karya Abdussamad al-Palimbani sampai R. Soeriadiredja yang menulis Wawatjan Poernama Alam. Sementara H. Hasan Mustopa yang dikenal sebagai kiai dan penghulu besar, sekitar tahun 1890 banyak menulis uraian-uraian masalah keagamaan dalam bentuk guguritan yang sangat indah, yang berhasil memasukkan kemerduan bahasa Arab ke dalam bahasa Sunda. Menurut Ajip Rosidi, di masa-masa produktifnya Hasan Mustapa telah menulis guguritan sebanyak 20.000 bait meskipun yang dapat ditemukan hanya 10.815 bait saja.


***


Dalam karya-karya sastra klasik banyak dijumpai unsur-unsur dakwah yang bersifat langsung, di mana baik wawacan maupun guguritan telah menjadi media penyampai pesan keagamaan yang efektif karena karya sastra yang umumnya dituturkan (ditembangkan) tersebut sangat disukai masyarakat. Pesan dalam karya-karya klasik ini ada yang bersifat formal seperti uraian-uraian tentang fikih, akhlak, tasawuf dan tarikh, namun ada juga yang simbolis seperti kisah-kisah para wali serta hikayat-hikayat yang berbau mistik. Sementara dalam karya-karya sastra modern (khususnya yang mulai ditulis sebelum perang kemerdekaan) unsur-unsur dakwah tampil lebih halus dan tersamar, yang menonjol justru masalah-masalah keseharian masyarakat Sunda yang umumnya rakyat kecil. Bisa jadi karya-karya tersebut tidak diniatkan langsung untuk berdakwah, dan kalau pun ada pesan moral di dalamnya, hal itu merupakan bagian dari persoalan umum masyarakat Sunda.


Meskipun begitu, membaca karya-karya sastra (khususnya prosa) pada zaman sebelum perang ini seperti menunjukkan bahwa posisi pesantren dalam kehidupan masyarakat Sunda mempunyai tempat yang sangat penting. Hampir semua pengarang besar mulai dari Moh. Ambri, Samsoedi, Tjaraka, Ki Umbara, Ahmad Bakri sampai R.A.F. (Rachmatulloh Ading Affandi) dan dilanjutkan Usep Romli H.M. kerap mengambil kehidupan pesantren sebagai inti dari cerita-ceritanya. Tokoh-tokoh seperti kiai, haji, santri, pemuda kampung, penghulu, lurah atau dukun adalah tokoh yang umum dalam karya-karya mereka. Namun yang perlu dicatat, baik pesantren maupun orang-orang pesantren selalu ditempatkan pada posisi yang wajar, manusiawi dan santai. Dengan demikian tokoh-tokoh seperti kiai, haji, penghulu atau santri tidak selalu menjadi tokoh yang paling benar, kadang mereka malah digambarkan berbuat salah atau konyol. Begitu juga pesantren tidak pernah digambarkan sebagai lembaga pendidikan atau keagamaan yang sakral atau luar biasa, tapi hanya bagian dari kelengkapan sebuah kampung.


Ki Umbara (1914-2005) merupakan pengarang yang sangat piawai dalam menggambarkan suasana batin orang-orang Sunda, baik dari kalangan pesantren maupun mereka yang percaya pada adanya mahluk halus, hantu dan siluman. Meskipun dalam biodatanya tidak ada catatan pernah mondok, namun ia sangat menguasai atmosfir dunia pesantren. Bersama pengarang S.A. Hikmat, ia menulis roman yang berjudul Pahlawan-pahlawan Ti Pasantren. Selain itu ia pun banyak menulis cerita saduran dari khasanah pesantren, seperti yang terkumpul dalam Nu Tareuneung dan Hamzah Singa Allah yang merupakan kisah para pahlawan dan syuhada Islam. Sementara kisah-kisah tentang perjuangan mempertahankan tauhid dikumpulkan dalam Sempalan Tina Tareh, yang merupakan hikmah-hikmah dari kehidupan para nabi dan sahabatnya. Tiga bukunya yang terakhir ini bukanlah sekedar catatan sejarah, tapi refleksi sang pengarang terhadap sejarah itu sendiri.


Ki Umbara juga dikenal sebagai pengarang spesialis cerita-cerita hantu, terutama lewat buku-bukunya yang laris seperti Diwadalkeun Ka Siluman, Teu Tulus Paeh Nundutan, Si Bedog Panjang, Maju Jurang Mundur Jungkrang, Si Lamsijan Kaedanan serta sebuah cerita misteri yang dikumpulkan Ajip Rosidi belakangan ini, yakni Jurig Gedong Setan. Ki Umbara menulis cerita-cerita misteri bukan untuk menyangkal adanya kekuatan supranatural, mahluk halus, hantu dan siluman dari pikiran orang-orang Sunda, tapi justru untuk mengingatkan para pembaca bahwa manusia yang beriman lebih mulia dari hantu dan siluman. Dengan demikian manusia tak perlu lagi merasa takut kepada yang selain Allah. Memang tak bisa dipungkuri cerita-cerita Ki Umbara baik yang disadur dari sejarah maupun mengenai hantu sangat kental dengan unsur dakwah Islam, meski ia melakukannya dengan cara menampilkan contoh-contoh dan bukan menggurui.


Di tangan para pengarang Sunda tema-tema keagamaan sering tampil dengan santai dan kadang terkesan main-main. Ahmad Bakri (1917-1988) adalah pengarang Sunda yang sangat digemari para pembaca, selain karena produktivitasnya juga karena ketarampilannya dalam melukiskan kehidupan masyarakat kecil dengan begitu hidup dan segar. Kejadian sehari-hari dengan tokoh-tokohnya yang berkisar antara camat, lurah, penghulu, kiai atau haji, santri dan pemuda kampung kerap hadir menjadi cerita yang menarik. Tema-tema keagamaan seperti puasa, tarawih, lebaran, zakat dan semacamnya dihadirkan lewat jalan pikiran dan perilaku orang-orang kecil. Misalnya bagaimana orang sekampung menjadi tidak makan sahur hanya karena sekelompok anak muda memboikot untuk tidak membangunkan mereka. Bagaimana bedug dipindahkan dari masjid ke atas bukit sebagai protes karena dilarang ngadulag selama bulan puasa, dan dari atas bukit itulah mereka mengganggu penduduk dengan memukul bedug sepuasnya. Bagaimana kelelawar yang biasa keluar dari sarangnya setiap senja dijadikan petunjuk waktu untuk berbuka puasa. Begitu juga kejadian-kejadian lucu saat terawih, menyetor zakat fitrah atau perdebatan yang seru seputar lebaran yang jatuh pada Jum’at, yang dipercaya akan mengundang harimau datang ke kampung karena ada dua khotbah dalam satu hari.


Ahmad Bakri yang di masa mudanya pernah mondok ini bukan hanya menulis cerita pendek tapi juga cerita anak-anak, buku-bukunya yang sudah terbit lumayan banyak dan di antara yang terkenal adalah Payung Butut, Rajapati Di Pananjung, Srangenge Surup Manten, Saudagar Batik, Mayit Dina Dahan Jengkol, Jurutulis Malimping, Ki Marebot dan beberapa yang lain. Belakangan atas upaya Ajip Rosidi beberapa cerpennya yang tercecer di berbagai majalah diterbitkan dalam dua buku yang cukup tebal: Dina Kalangkan Panjara dan Dukun Lepus. Dengan caranya yang santai Ahmad Bakri sebenarnya banyak melakukan kritik lewat cerita-ceritanya, misalnya soal penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan penghulu atau aparat desa, soal menak-menak yang sombong dan serakah, haji yang merasa benar sendiri, ustadz yang gila hormat, lurah yang ucapannya berbeda dengan kelakuan dan semacamnya. Kritik-kritiknya terasa santai namun menggelitik.


Di pesantren-pesantren tradisional Sunda yang umumnya berada di kampung-kampung, agama diperkenalkan pada anak-anak juga dengan cara yang santai. Anak-anak dilatih melaksanakan shalat dan puasa misalnya, dengan cara membiasakan diri. Itu pun tergantung pada kemampuan masing-masing, tidak dengan pemaksaan. Agama juga diajarkan dengan penuh kegembiraan, misalnya menghapal nama-nama nabi, menghapal keluarga Rasulullah, menghapal rukun iman dan rukun Islam semuanya dilakukan lewat nyanyian, lewat nadoman. Dengan “metode” santai seperti ini, juga dengan dosis yang tidak berlebihan agama merasuk ke dalam jiwa anak-anak tanpa terasa dan sangat alamiah. Tidak diawali dengan menjejalkan doktrin-doktrin ke dalam otak, tapi dimulai dengan berlatih dan merasakannya dalam hati. Dengan demikian bagi anak-anak kampung agama tidaklah selalu berwajah garang apalagi mengancam.


Wajah agama yang santai ini dengan berhasil digambarkan oleh R.A.F. dalam Dongeng Enteng Ti Pasantren yang terdiri dari 40 cerita. Meskipun ditulis pada dekade tahun 1960-an, cerita-cerita seputar dunia pesantren ini konon berlangsung sebelum perang atau tepatnya sebelum Jepang datang. Maka baik tokoh maupun latar tempatnya tak jauh berbeda dengan cerita-cerita Ahmad Bakri, masih tentang orang-orang sederhana dari sebuah kampung yang lokasinya berada di sekitar Ciamis dan Tasikmalaya. Hanya saja R.A.F. bercerita bukan dengan kacamata orang luar, tapi sebagai orang dalam yang tinggal di pesantren. Dengan demikian detail-detail mengenai kehidupan santri dan suasana pesantren pada waktu itu terungkap begitu gamblang. Bagi yang pernah merasakan mondok di pesantren tradisional membaca cerita-cerita ini mungkin seperti mengurai kembali kenangan lama.


Dongen Enteng Ti Pasantren bentuknya mendekati sebuah roman meskipun cerita-cerita yang terdapat di dalamnya bisa berdiri sendiri-sendiri. Dimulai dengan penggambaran tentang sosok kiai Sunda yang umumnya hidup sederhana, tentang keluarganya yang terdiri dari istri dan anak perempuan, lalu tentang suasana pesantren yang lokasinya hampir bisa dipastikan selalu dekat dengan sawah, kolam, gunung dan sungai. Begitu juga bangunan-bangunan sederhana yang terdapat di dalamnya: rumah kiai, masjid dan asrama yang semuanya berdinding bambu. Setelah itu cerita demi cerita mengalir lancar. R.A.F. yang lahir tahun 1929 di Banjarsari, Ciamis, sehabis menyelesaikan sekolah memang pernah mondok beberapa lama di sebuah pesantren, dan sepertinya roman semi biografis ini merupakan cerita kenang-kenangan mengenai pengalamannya di pesantren itu.


Tentu saja yang diceritakan R.A.F. bukan hanya sekedar pengalaman romantik pernah tinggal di pesantren. Sejumlah persoalan keagamaan juga terungkap di balik cerita-ceritanya yang lucu. Di sini nampak kepiawaian pengarang dalam menyerap pandangan umum orang-orang kampung terhadap aturan-aturan agama. Dalam cerita Poe Kahiji misalnya, diceritakan bagaimana kagetnya para santri mendengar kiai yang tiba-tiba saja menetapkan hari pertama puasa lebih cepat sehari dibanding kampung-kampung lain, padahal sejumlah santri sudah terlanjur menyiapkan makanan untuk munggahan pada hari itu. Tiba-tiba ada seorang santri yang mengaku masih ingat ucapan kiai, yang mengatakan bahwa tidak puasa diperbolehkan hukumnya apabila sedang berkunjung ke tempat yang belum memulai puasa, asal kunjungan tersebut dilakukan pagi-pagi sekali dan mempunyai alasan yang kuat.


Dengan dasar ucapan sang kiai, pergilah mereka ke kampung tetangga dengan membawa makanan yang sudah disiapkan untuk acara munggahan. Sebelum pergi mereka tidak lupa mengucapkan niat bahwa kepergiannya untuk mengantarkan kitab kepada seseorang di kampung itu. Sebuah alasan yang sangat kuat karena mengantarkan kitab merupakan pekerjaan mulia, dan pekerjaan mulai seyogyanya dilakukan secara bersama-sama. Dan setibanya di kampung tujuan puasa memang belum dimulai, maka dengan gembira mereka melakukan acara munggahan, makan beramai-ramai tanpa merasa telah melakukan dosa. Sorenya barulah mereka pulang kembali ke pesantren sambil senyum-senyum.


Dalam kebanyakan ceritanya R.A.F. kadang memakai istilah-istilah Arab yang umum diucapkan di pesantren, namun sedikit sekali ia mengutip dalil-dalil dari al-Qur’an atau Hadist. Persoalan-persoalan keagamaan justru lebih banyak terungkap lewat obrolan sehari-hari dan perilaku tokoh-tokohnya yang santai, lucu, polos dan nakal. Tema-tema serius mengenai fikih atau tauhid mengalir dengan ringan, terkesan main-main namun tetap menyiratkan makna yang dalam. Begitu juga tema-tema yang berhubungan dengan etika atau moral seperti menjelekan orang lain, berbohong, sombong, malas, dan semacamnya juga tampil menjadi rangkaian lelucon yang segar dan penuh kejutan. Hampir setiap judul atau bagian mempunyai pesan tersendiri dalam bangunan cerita yang jauh dari kesan berkhotbah atau menggurui.


Pengarang lain yang juga banyak menggarap tema kehidupan pesantren adalah Usep Romli H.M. Pengarang ini sudah menerbitkan sejumlah kumpulan cerpen dan novelet seperti Jiad Ajengan, Ceurik Santri, Bentang Pasantren dan Dulag Nalaktak. Pengarang yang lahir di Limbangan, Garut, tahun 1949 ini memang seorang santri yang cukup lama mondok di pesantren. Selain menulis cerpen dan novelet, ia juga menulis sajak yang sudah dikumpulkan dalam beberapa antologi. Meskipun cerita-ceritanya kebanyakan terjadi sekitar tahun 1970-an namun suasana pesantren yang digambarkannya tak jauh berbeda dengan yang pernah digambarkan para pengarang generasi sebelumnya, sebuah pesantren sederhana yang dikelilingi sawah, kolam, gunung dan sungai. Memang demikianlah kondisi pesantren-pesantren tradisional di tatar Sunda, selain selalu mengambil lokasi di daerah pinggiran juga tak banyak melakukan perubahan dari waktu ke waktu.


Usep Romli H.M. banyak menggarap cerita-cerita santai yang menggambarkan romantika pesantren seperti halnya R.A.F, terutama pada novelet Bentang Pasantren, cerpen Ceurik Santri dan Dulag Nalaktak. Namun Usep kadang bergaya serius juga, misalnya pada cerita-cerita yang menunjukkan keprihatinannya terhadap kondisi umat Islam yang terpuruk di tengah perubahan zaman. Namun hampir dalam semua karyanya, baik yang santai maupun bergaya serius, ia sering mengutip dalil-dalil yang berasal dari al-Qur’an dan Hadist. Ia juga kerap memasukkan istilah-istilah bahasa Arab untuk menghidupkan dialog dalam ceritanya. Hal ini tentu dapat dimaklumi mengingat selain pengarang, ia pun dikenal luas sebagai mubalig dan pembimbing jemaah haji. Maka wajarlah jika semangatnya untuk berdakwah lewat sastra terasa sangat kental dibanding pengarang lain, apalagi pada cerita-cerita terbarunya yang dikumpulkan dalam Paguneman Jeung Fir’aun. Dalam buku ini bahkan pengarang dengan gamblang menunjukkan pembelaan dan keberpihakannya terhadap Islam dengan sudut pandang yang nyaris hitam-putih. Usep mengaitkan cerita-ceritanya dengan peristiwa politik seperti intervensi Amerika dan sekutunya terhadap negara-negara Muslim di Timur Tengah, juga tentang kerusuhan rasial dan agama yang terjadi Ambon dan Poso.


Dalam pengamatan saya sementara ini, setelah era R.A.F. dan Usep Romli H.M. rasanya belum ada lagi pengarang Sunda yang cukup kuat dan menonjol dalam menggarap tema-tema kepesantrenan, kalau pun ada mungkin lebih cenderung pada tema-tema keagamaan yang sifatnya formal dan umum saja, bukan tentang Islam yang ada kaitannya dengan masalah budaya. Saya juga mengamati bahwa pengarang-pengaran Sunda sekarang seperti mulai kehilangan sikap kesantaiannya, baik kesantaian sebagai orang Sunda maupun sebagai orang Islam.


(2007)

Prev Next Next