ISTIGHOSAH
Acep Zamzam Noor
SALAH satu bukti bahwa masyarakat kita religius adalah banyaknya ritual-ritual keagamaan yang biasa digelar pada waktu dan kesempatan tertentu. Ritual-ritual ini tentu saja bersifat fungsional dan menjadi bagian dari kehangatan pergaulan sosial. Jika ada tetangga yang melahirkan digelar ritual yang biasanya menggunakan shalawat Al-Daiba atau Al-Barzanji, yang kemudian dilanjutkan dengan mencukur rambut bayi. Shalawat-shalawat tersebut dibawakan bersama-sama dengan gembira, kadang sambil berdiri dan menggerak-gerakkan badan. Sementara jika ada tetangga meninggal dunia diadakan ritual lain yang disebut tahlilan, tentu saja ritual yang satu ini dilakukan dengan khidmat.
Selain itu masih banyak jenis-jenis ritual yang biasa dilakukan masyarakat pada saat syukuran khitanan, pernikahan, naik haji atau ketika seseorang kebetulan sedang mendapat nikmat. Tapi bisa juga ketika sedang mendapat cobaan atau mempunyai maksud yang belum tercapai. Untuk yang terakhir ini biasanya melakukan aurodan dengan membaca surah-surah khusus, zikir dan shalawat dengan jumlah tertentu. Sebelumnya dibacakan dulu hadoroh, semacam ucapan selamat atau minta restu kepada Rasulullah, para sahabat, para wali, para ulama dan para leluhur.
Yang saya sebutkan di atas masih dalam konteks keluarga atau tetangga dekat, yang hanya diikuti sekitar puluhan orang saja.
Mungkin karena bentuk ritualnya yang kolosal dan diikuti ribuan orang yang mempunyai loyalitas tinggi pada sang kiai, beberapa politisi yang otaknya ngeres seperti mendapat inspirasi untuk menjadikan istighosah sebagai media ampuh dalam mengumpulkan
Gus Dur membawa Mbak Tutut keliling pesantren-pesantren di Jawa dan disambut dengan istighosah yang gegap gempita, dalam berbagai kesempatan puteri sulung Pak Harto itu diperkenalkan sebagai pemimpin masa depan. Pada kesempatan lain Gus Dur juga membawa Megawati untuk kepentingan yang sama. Manuver pemimpin NU ini kemudian banyak diikuti para politisi lain, terutama yang punya akses ke pesantren-pesantren tradisional. Pada perkembangannya, manuver yang tadinya “murah meriah” ini kemudian melahirkan broker-broker politik dari kalangan pesantren.
Sejak itulah istighosah menjadi fenomana dalam dunia politik kita. Hampir setiap tokoh yang punya “kepentingan” ke daerah selalu disambut dengan istighosah, tak peduli apakah tokoh tersebut warga NU, Muhamadiyah atau lainnya. Tak peduli apakah tokoh tersebut menganggap istighosah itu sebagai bid’ah atau tidak. Bahkan seorang Jacob Nuwawea yang Nasrani juga pernah disambut dengan acara yang sama. Setelah era multi partai istighosah malah semakin populer saja. Mulai dari deklarasi, kongres, konperensi, musyawarah sampai kampanye banyak partai yang menggunakan “metode” zikir bersama ini dalam mengumpulkan
Dengan demikian istighosah yang sakral menjadi tak ada bedanya lagi dengan pentas dangdut atau jalan santai yang biasa digelar kalangan partai, karena sama-sama sebagai alat pengumpul
Beberapa waktu berselang istighosah yang bertarap nasional digelar di Masjid Istiqlal dengan dihadiri presiden beserta jajaran kabinet yang semuanya berbaju koko. Zikir bersama yang dilakukan di tengah berbagai cobaan yang menimpa kita tentu merupakan kegiatan mulia, yang sudah sepantasnya dilakukan sejak jauh-jauh hari. Namun itu tadi, istighosah sudah terlanjur kehilangan kesakralannya di negeri ini. Zikir bersama sudah terlanjur kehilangan fungsi ritual maupun sosialnya bagi bangsa ini, sehingga wajar kalau banyak kalangan menilai kegiatan tersebut sebagai bagian dari upaya tebar pesona para pejabat saja di tengah bencana demi bencana yang seperti tak henti-hentinya ini.
(2007)