Share |

Artikel 9

SASTRA DAN NEGARA



Acep Zamzam Noor


LAHIRNYA Indonesia sebagai bangsa tak bisa dilepaskan dari karya sastra, khususnya puisi. Pada tanggal 28 Oktober 1928 sejumlah anak muda yang mempunyai naluri kepenyairan berkumpul dan secara kolektif berimajinasi tentang sebuah bangsa. Secara kolektif pula mereka menulis sebuah puisi yang indah, yang sekarang kita kenal sebagai “Sumpah Pemuda”. Sebuah puisi yang mengimajinasikan sesuatu yang waktu itu belum ada, bahkan mungkin belum terbayangkan di pikiran banyak orang: bangsa, tanah air dan bahasa. Sutardji Calzoum Bachri pernah menyebut “Sumpah Pemuda” sebagai puisi besar yang dihasilkan anak-anak muda zaman dulu. Selain karena memenuhi kaidah untuk disebut puisi, di mana unsur-unsur puisi terdapat di dalamnya, isinya pun sangat impresif, imajinatif bahkan futuristik. Mengungkapkan sesuatu yang secara realitas belum ada. Sesuatu yang masih berupa utopia.


Meski para pemuda yang kreatif itu selanjutnya tidak dikenal sebagai penyair, namun sejarah mencatat bahwa apa yang mereka ciptakan telah meletakkan pondasi bagi kemungkinan lahirnya sebuah bangsa, terutama dengan diikrarkannya bahasa Indonesia sebagai bahasa resmi. Melalui tangan para penyair setahap demi setahap bahasa Indonesia menemukan bentuknya, melalui tangan para penyair pula bahasa ini membangun kewibawaannya sebagai alat pemersatu bangsa. Puisi-puisi yang membangkitkan kesadaran serta kecintaan terhadap tanah air tak henti-hentinya ditulis para penyair, dari generasi ke generasi. Bahasa yang sebelumnya hanya lingua franca pun semakin diperkaya.


Sutan Takdir Alisjahbana, Muhammad Yamin, Sanusi Pane, Rustam Effendi, J.E. Tatengkeng serta Amir Hamzah dengan puisi-puisinya yang romantik telah mengawal arah serta spirit perjalanan panjang bangsa ini. Kemudian disambung Chairil Anwar, Asrul Sani, Sitor Situmorang, Trisno Sumardjo, Mansyur Samin, Hartojo Andangdjaja, Kirdjomuljo, Subagio Satrowardojo, Ramadhan K.H., Rendra, Ajip Rosidi, Toto Sudarto Bachtiar sampai Taufiq Ismail yang dengan caranya masing-masing telah ikut pula mengisi, mewarnai dan memaknai perjuangan dengan puisi-puisinya.


Pada masa-masa itu koran atau majalah yang menyediakan rubrik sastra tentu belum seperti sekarang, begitu juga dengan penerbitan buku. Namun pada masa-masa itu karya sastra justru banyak dibaca orang, terutama oleh kalangan terpelajar. Para pejabat, politisi atau aktivis pergerakan umumnya adalah mereka yang pernah mengenyam pendidikan kolonial, jadi mereka pernah merasakan bagaimana sastra diajarkan dengan sungguh-sungguh di sekolah. Juga bagaimana membaca dan menulis menjadi mata pelajaran yang sama pentingnya dengan pelajaran lain.


Taufiq Ismail pernah mengadakan penelitian mengenai pengajaran sastra bagi siswa sekolah menengah di sejumlah negara. Konon setelah kemerdekaan berjalan, lebih-lebih setelah Orde Baru, para siswa di Indonesia tidak lagi mempunyai kewajiban membaca buku sastra, padahal di sejumlah negara setiap siswa diwajibkan membaca antara 5 sampai 32 buku setiap tahunnya. Begitu juga pada pada zaman kolonial, para siswa diwajibkan membaca minimal 25 buku, di samping kewajiban mengarang tentunya. Dengan data tersebut wajar jika kebanyakan pejabat dan politisi kita sekarang tidak suka membaca karya sastra. Apalagi mengapresiasinya dengan sungguh-sungguh. Wajar pula jika kemudian kita sangat sulit menemukan pejabat, politisi atau siapapun yang mempunyai kepekaan terhadap kondisi yang tengah dihadapi bangsa ini.


Namun sastra hidup juga di luar sekolah. Meskipun tanpa diajarkan secara sungguh-sungguh toh puisi masih terus ditulis orang. Buku-buku puisi pun masih terus diterbitkan dengan berbagai cara. Kehidupan sastra masih berjalan meskipun rasanya semakin ekslusif. Hanya para penyair dan peminat puisi (umumnya calon-calon penyair juga) yang masih setia membaca dan mengapresiasi puisi. Sementara kaum terpelajar, lebih-lebih para pejabat dan politisi, nampaknya sudah tidak punya waktu dan kepedulian lagi. Dengan demikian sumbangan pemikiran, renungan, ekspresi keindahan maupun sikap kritis para penyair mengenai kondisi bangsa ini efeknya semakin kecil saja. Bahkan seperti angin lalu.


Para pejabat dan politisi sebagai pengelola negara tidak pernah mengambil inspirasi, manfaat apalagi hikmah dari apa yang telah ditulis para penyairnya dengan berdarah-darah. Begitu juga kalangan profesional seperti dokter, jaksa, hakim, pengacara, pengusaha, ulama, dosen atau semacamnya. Sekarang sulit sekali mencari orang yang masih mau memelihara kepekaan dalam dirinya. Sulit menemukan manusia yang masih tekun mengasah mata batinnya. Agama menjadi persoalan yang tak ada hubungannya dengan perilaku sehari-hari. Sembahyang atau naik haji menjadi hobi, begitu juga korupsi dan kolusi. Dokter yang tugasnya melayani malah ikut bisnis obat. Jaksa, hakim dan pengacara kerjanya hanya jual beli perkara. Pengusaha bersinergi dengan penguasa. Ulama menerima pesanan fatwa.


Gambaran di atas nampak sekali jika kita mengamati bagaimana para pejabat dan politisi berbahasa di televisi. Pidato-pidato yang diucapkan mereka terkesan datar, standar dan cenderung formal, baik dari sisi keindahan bahasa maupun kedalaman makna. Bandingkan misalnya dengan para pemimpin kita dulu yang pernah mengenyam pelajaran sastra secara sungguh-sungguh di sekolahnya. Pidato-pidato yang disampaikan baik oleh Bung Karno, Bung Hatta, Bung Tomo, Sjahril, Natsir maupun Hamka bukan hanya hidup dan indah namun sangat dalam maknanya, yang membuat bulu kuduk siapapun akan merinding mendengarnya. Begitu juga dengan generasi yang berada satu lapis di bawahnya. Kata-kata yang diucapkan merupakan kata-kata yang telah mereka pahami, mereka hayati dan mereka jalani. Kata-kata yang keluar dari hati, penuh impresi dan imajinasi. Bukan seperti busa diterjen yang meluap di kamar mandi.


Belakangan kita menyaksikan sejumlah politisi muda mengutip teks sastra pada saat kampanye pemilu. Kutipan-kutipan tersebut ditayangkan televisi serta dipasang pada baligo-baligo ukuran besar. Namun entah kenapa sepertinya tak ada keselarasan antara teks (yang maunya bernilai sastra) dengan citra yang melekat pada pribadi mereka sebagai politisi masa kini. Kata-kata yang mereka ucapkan menjadi tidak maching dengan gerak bibirnya, dengan ekspresi wajahnya, dengan sorot matanya, dengan gestur tubuhnya, apalagi dengan suasana hatinya. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya asing bagi kehidupan mereka sendiri. Kata-kata yang mereka ucapkan sepertinya belum benar-benar dipahami, benar-benar dihayati, apalagi dijalani.


Lantas apa yang harus kita lakukan? Selain pelajaran sastra dibenahi lebih serius di sekolah-sekolah, juga dibutuhkan terobosan dalam upaya mendekatkan karya sastra kepada pembacanya, kepada masyarakat luas. Terobosan harus segera dilakukan untuk kembali menyadarkan kita, khususnya generasi muda, mengenai sikap kebangsaaan yang semakin hari semakin sirna. Terobosannya harus dilakukan secara kreatif, impresif dan imajinatif, bahkan kalau perlu jeprut seperti yang dulu dilakukan para pemuda ketika mengucapkan sumpahnya, yang terbukti mampu menumbuhkan sikap kebangsaan yang berbuah kemerdekaan. Apresiasi sastra tidak bisa dilakukan secara datar dan standar saja.


Bagaimanapun sebuah bangsa tetap membutuhkan karya sastra, membutuhkan puisi, cerpen, novel dan esei. Sebuah bangsa tetap membutuhkan sastrawan, membutuhkan penyair serta masyarakat yang mempunyai minat baca tinggi. Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) yang selama beberapa tahun terakhir sempat menghibur rakyat dengan sepak terjangnya yang kreatif, impresif dan imajinatif, kini pelan-pelan sepertinya mulai dilumpuhkan. Padahal apa yang telah dilakukan KPK sangatlah indah dan mencerahkan, terutama karena berhubungan langsung dengan hati nurani bangsa. Bagi saya pemberantasan korupsi sama indahnya dengan puisi. Sama mencerahkannya dengan apresiasi sastra.


Di tengah riuh-riuhnya kampanye pemilu legislatif beberapa waktu yang lalu, saya iseng mengirim SMS kepada teman-teman: Bangsa-bangsa lahir di hati para penyair, lalu mati di tangan para politisi.


(2009)

Prev Next Next