TAHUN YANG NGUNGUN
TIDAK seperti tahun-tahun sebelumnya, saya mengawali tahun 2009 dengan semacam keprihatinan dan kerepotan. Pertama, saya prihatin karena bencana demi bencana masih terus melanda negeri kita, baik bencana alam maupun bencana yang sengaja dilakukan manusia. Kedua, saya repot karena banyak diminta teman-teman untuk berbicara masalah sosial, budaya dan politik, yang di dalamnya selalu bersinggungan dengan agama, pesantren, kiai maupun santri. Lebih repotnya lagi karena saya terlanjur dianggap paham masalah-masalah tersebut sehingga permintaan untuk membicarakan sesuatu yang sebenarnya kurang saya sukai ini tidak pernah berhenti. “Inilah resiko menjadi seorang penganggur,” kata saya menghibur diri.
Menjelang pemilu dan pilpres, berbagai organisasi, lembaga swadaya, himpunan mahasiswa atau kelompok studi kerap mengadakan diskusi, seminar atau workshop. Tentu saja motif mereka mengadakan acara berbeda-beda, ada yang serius ingin membicarakan persoalan bangsa, ada juga yang sekedar memanfaatkan situasi. Misalnya para caleg (atau calon bupati dan walikota) sengaja dihadirkan dalam sebuah seminar, saresehan atau diskusi setelah sebelumnya diminta bantuan membiayai acara tersebut. Namun apapun motif mereka mengundang saya, satu hal yang selalu saya sampaikan adalah menawarkan golput sebagai solusi. Paling tidak sebagai solusi sementara. Itulah satu-satunya ilmu yang saya miliki.
***
Untuk memahami kondisi
Politik uang yang kerap dilakukan saat pemilihan ketua apapun, antara pusat dan daerah rasanya sama saja. Sama-sama nekad dan terbuka.
Dalam pengamatan saya, pemerintah kabupaten atau
Kadang saya berpikir bahwa satu-satunya cabang ilmu yang benar-benar diamalkan secara konsekuen di
Di negeri ini agama nampaknya sudah tidak ada hubungannya dengan perilaku, apalagi dengan perilaku politik seseorang. Naik haji dan korupsi misalnya, dua hal yang sebenarnya bertolak belakang ini entah kenapa bisa begitu harmonis. Bahkan keduanya sama-sama dipahami sebagai kesenangan atau hobi. Naik haji bisa setiap tahun, di lain pihak korupsi jalan terus. Begitu juga dalam berebut jabatan atau kedudukan, segala cara bisa dilakukan tanpa memedulikan salah dan benar, baik dan buruk, halal dan haram.
Jika ditarik lebih jauh lagi sarjana-sarjana teknik juga tidak mau kalah, mereka menggunakan teori ekonomi dalam merancang setiap konstruksi bangunan yang dikerjakannya. Jangan heran kalau banyak gedung baru yang ambruk karena tersenggol gempa, atau banyak jembatan yang runtuh sebelum diresmikan. Dokter-dokter pun rupanya gemar menggunakan teori yang sama dalam menjalankan tugas pelayanannya terhadap masyarakat. Anehnya kondisi perekonomian nasional justru semakin terpuruk di tengah aktivitas ekonomi yang membabi-buta dari para elitnya ini.
***
Tahun 2009 bagi saya merupakan tahun yang lindap dan ngungun. Selain diawali dengan sejumlah bencana alam dan kecelakaan yang mengenaskan, juga diwarnai kesibukan para caleg menyongsong pemilu yang menegangkan sekaligus menggelikan. Memang tidak semua orang terlibat atau berkepentingan dengan “pesta demokrasi” ini, namun atmosfir politiknya yang panas bisa menyengat siapa saja.
Di kampung saya bukan orang kaya meski sering kali disalahpahami sebagai juragan, sehingga tak sedikit calo tanah yang datang menawarkan sawah, kolam atau kebun. Ketika saya tanya kenapa sawah, kolam atau kebun tersebut dijual, jawabannya untuk persiapan kampanye.
Kenapa menjadi anggota dewan begitu menggoda? Kenapa posisi wakil rakyat ramai diperebutkan, termasuk oleh mereka yang sama sekali tidak pernah menunjukkan kepeduliannya terhadap rakyat? Kenapa partai politik tiba-tiba dipercaya menjadi agen penyalur tenaga kerja? Kenapa politik dipahami sebagai jenis pekerjaan sehingga caleg tidak ubahnya sekedar pelamar? Seandainya politik adalah jenis pekerjaan, kenapa pemilu tidak ditangani Depnaker? Kenapa pemerintah malah membentuk KPU yang sering membuat lidah saya terpeleset mengucapkannya menjadi Komisi Pemburu Uang? Jawabannya ternyata sederhana, bahwa masyarakat kita mempunyai cita-cita yang sama, yakni sama-sama ingin hidup sejahtera. Dan sejauh ini para anggota dewan telah menunjukkan contoh yang gamblang bagaimana mencapai kesejahteraan dengan cara yang cepat.
Kesejahteraan yang dicita-citakan seluruh rakyat
Jika ada tahapan karier dalam konteks kekuasaan yang dianggap sukses, barangkali urutannya begini: dari lurah naik menjadi camat, terus menjadi bupati, kemudian menjadi gubernur, lalu menjadi menteri dulu satu dua periode, baru setelah itu menjadi presiden. Dan bagi seorang presiden sejahtera berarti terpilih kembali, kalau perlu terpilih terus biar sejahteranya lama. Nah, kalau sejahteranya sudah lama, maka seorang presiden akan cenderung melankolis seperti kebanyakan penyair. “Aku ingin hidup seribu tahun lagi...” ujarnya setiap bangun tidur.
***
Di tengah hiruk pikuk masa sosialisasi, di tengah gegap gempita para caleg memperkenalkan dirinya kepada masyarakat, memasang baligo besar-besar, membentangkan spanduk panjang-panjang, membagikan kaos, kalender atau stiker. Di tengah para caleg yang mematut-matutkan wajahnya dengan berbagai
Pada akhir Februari secara kebetulan saya diundang untuk tinggal selama tiga minggu di Ai Angek, Bukittinggi, Sumatera Barat. Tugas saya hanya menulis sambil berinteraksi dengan alam serta masyarakat di
Di Ai Angek yang sejuk dan berkabut, di kaki gunung Singgalang dan Merapi yang selalu dibasahi embun dan dipayungi mendung, mereguk kopi panas rasanya nikmat sekali. Khusyuk sekali. Apalagi kopinya sengaja saya beli dari Banceuy, dari pabrik yang sudah terkenal sejak tahun 1930-an. Malam-malam kadang saya iseng mengirim SMS kepada teman-teman, baik yang menjadi caleg maupun bukan: Malam-malam begini penyair serius biasanya sedang menikmati kopi panas di depan komputer, sementara para caleg dan tim suksesnya sedang hujan-hujanan memasang baligo di jalan.
Tentu saya tidak hanya menulis puisi di kamar sambil memandang puncak Singgalang dengan takjub dari balik kaca jendela. Taufiq Ismail, yang mengundang saya tinggal di Ai Angek, mengajak saya mengunjungi banyak tempat bersejarah di Bukittinggi, Maninjau, Padangpanjang, Payakumbuh dan Tanahdatar. Pertama-tama kami mengunjungi rumah kelahiran Bung Hatta di Bukittinggi, yang sekarang dijadikan museum. Rumahnya sederhana, konstruksi kayu dengan dinding bambu khas Minangkabau. Ruang belajar Hatta terletak di sudut kanan bagian depan, sementara kamar tidurnya berada di belakang. Meskipun mempunyai kamar pribadi, Hatta kecil biasa tidur di surau bersama teman-temannya. Di belakang rumah masih ada sepeda tua miliknya, juga bendi keluarga yang sesekali mengantarkan Hatta ke sekolah. Bulu kuduk saya tiba-tiba bergetar.
Di Bukittinggi dan sekitarnya kebetulan banyak lahir tokoh-tokoh sejarah seperti Agus Salim, Sutan Syahril, M. Natsir, Rahmah el-Yunusiah, Abdul Gaffar Ismail dan lain-lain. Sedikit ke Barat ada rumah kelahiran Hamka yang juga dijadikan museum. Sedikit ke arah Timur di sekitar Payakumbuh ada kampung halaman Tan Malaka, makam orangtua Bung Hatta juga tak jauh dari situ. Sedikit ke selatan ada Pandai Sikek, kampungnya Haji Miskin, salah seorang pejuang Padri. Semuanya sempat kami singgahi meski hanya untuk beberapa saat.
Ketika kami berliku-liku menuruni jalan curam dengan puluhan kelokan yang seperti ular menuju rumah kelahiran Hamka di tepi danau Maninjau, imajinasi saya mulai bermain dengan liar. Setiap pergi ke pesantren di Parabek, Bukittinggi, saya membayangkan Hamka kecil akan naik turun perbukitan sambil membawa karung beras dan perbekalan lain. Jalan raya mulus yang kami lalui pasti belum ada zaman itu, dan rasanya tak mungkin juga beliau mengayuh sepeda melewati perbukitan yang curam dan terjal. Bulu kuduk saya kembali bergetar dengan hebat.
Pada hari lain kami diundang membaca puisi pada Peringatan 108 Tahun Rahmah el-Yunusiah di Padangpanjang. Rahmah adalah tokoh pendidikan dan pendiri Pesantren Diniyah Puteri. Bukan hanya tokoh pendidikan, ia juga seorang pejuang yang secara langsung ikut berperang melawan penjajah Belanda. Bahkan pesantrennya pernah dijadikan markas tentara republik. Oya, perlu diketahui juga bahwa pahlawan nasional yang kini namanya diabadikan menjadi jalan di Jakarta, Rasuna Said, adalah salah satu santri sekaligus prajuritnya. Peringatan mengenang tokoh yang luar biasa ini dilangsungkan di aula pesantren, yang dulunya merupakan lokasi rumah kelahiran Sutan Syahrir.
Pada hari lainnya kami juga berkesempatan membaca puisi pada Peringatan 100 Tahun Sutan Syahril yang berlangsung di Istana Bung Hatta, di pusat
Ketika kembali ke Ai Angek yang dingin dan sepi, tiba-tiba saya teringat pada saudara, tetangga dan teman saya yang sedang berjuang mati-matian menjadi politisi. Saya juga teringat pada para politisi kita yang lain, yang juga tengah sama-sama berjuang di daerahnya masing-masing. Mungkin seperti halnya Bung Hatta, Agus Salim, Sutan Syahril, M. Natsir, Tan Malaka, Rahmah el-Yunusiah atau Rasuna Said, mereka juga berjuang dan berkorban demi cita-cita luhurnya.
Tujuan serta niat mereka berjuang dan berkorban juga mungkin sama, sama-sama memperjuangkan kesejahteraan. Hanya saja, jika Bung Hatta dan kawan-kawan memperjuangkan kesejahteraan untuk bangsa dan negaranya, maka saudara, tetangga dan teman saya di kampung (dan umumnya para politisi masa kini) memperjuangkan kesejahteraan hanya untuk dirinya, atau paling jauh untuk kelompoknya sendiri. Itu barangkali yang membedakannya.
Dan seperti gayung bersambut, hanya beberapa hari setelah meninggalkan Sumatera Barat, saya diminta untuk segera terbang ke
Selama berada
Menyejahterakan rakyat memang harus dilakukan oleh negara atau pemerintah manapun, oleh ideologi atau keyakinan apapun, rezim atau pemimpin siapapun. Cara yang dilakukan Cina dalam upaya menyejahterakan rakyat ternyata sederhana, yakni dengan menghukum mati setiap pelaku korupsi. Cara yang sama dilakukan juga di beberapa negara lain seperti Korea Selatan, yang terbukti pesat ekonominya dan sejahtera rakyatnya. Bukankah selama korupsi masih merajalela kesejahteraan tidak akan pernah tercipta?
Jadi, di situlah persoalannya. []