Share |

Artikel 8

SISI SUFISTIK SI KABAYAN



Acep Zamzam Noor


DARI khazanah kebudayaan Arab kita mengenal nama Abu Nawas, seorang tokoh yang selalu dikaitkan dengan tingkah laku yang aneh, seenaknya, cerdik, konyol, kontroversial dan tentu saja jenaka. Di kalangan pesantren maupun masyarakat Islam pada umumnya, nama Abu Nawas ini sangat populer. Namun kepopuleran Abu Nawas lebih terkait dengan masalah kekonyolan, kelucuan dan kejenakaannya saja. Nama Abu Nawas pun seolah bermetamorfosis menjadi semacam tokoh rekaan untuk kisah-kisah konyol dan lucu. Atau untuk kisah-kisah yang berisi ejekan dan cemoohan. Kisah-kisah semacam ini diceritakan orang yang berniat melucu atau melawak dengan menggunakan Abu Nawas sebagai tokohnya. Nama Abu Nawas kemudian menjadi kelucuan itu sendiri, tak jarang orang sudah bisa tertawa hanya dengan mendengar namanya saja. Bahkan ketika menyaksikan atau mengalami peristiwa nyata yang tak masuk akal, konyol atau lucu misalnya, dengan spontan orang akan berkata: “Ah, dasar Abu Nawas!”


Tapi siapakah Abu Nawas? Tak banyak orang tahu bahwa Abu Nawas adalah seorang penyair. Nama lengkapnya Abu Nawas al-Hassan Ibn Hani al-Hakami, lahir di Ahwaz, Persia, sekitar 757 Masehi, dari seorang ibu Persia dan ayah yang berasal dari Damaskus, Suriah. Dalam sejarah sastra Arab ia tercatat sebagai penyair terbesar pada zamannya. Selain dinilai sebagai penyair jenius, ia juga dikenal karena kesinisan puisi-puisinya dalam mengkritik penguasa serta keberaniannya menerobos batas-batas moral dan agama. Seperti halnya Omar Khayyam atau penyair-penyair sufi lainnya, puisi-puisi Abu Nawas penuh dengan idiom-idiom kegairahan yang seolah hanya bersifat badani, seperti anggur, mabuk dan birahi. Dalam banyak literatur Abu Nawas digambarkan sebagai penyair yang berwajah tampan, flamboyan, disukai dalam pergaulan namun perilakunya sangat paradoks. Bersama penguasa Abu Nawas hidup bergelimang kemewahan di istana, sekaligus sering juga meringkuk dalam pengapnya sel penjara.


Karena gaya hidupnya yang aneh, juga karena cara berpikir serta tingkah lakunya yang di luar kewajaran, Abu Nawas tak jarang disalahpahami orang. Anggur, mabuk, birahi atau kesinisan dalam puisi-puisinya sering hanya ditangkap pada permukaannya saja. Abu Nawas dianggap sebagai pelawak karena kekonyolannya, juga dituduh pelaku maksiat karena idiom-idiom puisinya yang erotis. Bahkan saking paradoksnya, ada yang mengatakan bahwa Abu Nawas yang pelawak dan Abu Nawas yang penyair merupakan dua tokoh yang berbeda, padahal kedua Abu Nawas ini hidup pada zaman dan lingkungan yang sama, yakni pada masa khalifah Harun ar-Rasyid dan penggantinya, al-Amin, di Bagdad.


Membaca Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan karya Jakob Sumardjo membuat saya teringat kembali kepada cerita-cerita tentang Abu Nawas, yang juga tak kalah paradoksnya. Seperti halnya Abu Nawas, Si Kabayan juga sering dipahami sebagai tokoh yang bodoh, konyol dan lucu. Pemahaman yang berkembang di tengah masyarakat juga menempatkan Si Kabayan tak lebih dari seorang pelawak, tokoh yang kepopulerannya tak bisa lepas karena kejenakaan tingkah lakunya.


Setelah Utuy Tatang Sontani mengangkatnya ke dalam drama berbahasa Indonesia, kemudian Eddy D. Iskandar membawa versi barunya ke layar film, cerita-cerita Si Kabayan bukan hanya populer bagi masyarakat Sunda namun juga dikenal luas oleh suku-suku lain. Namun itu tadi, Si Kabayan yang dikenal dan populer di tengah masyarakat adalah Si Kabayan yang pelawak, yang konyol dan malas. Maka ketika menyaksikan peristiwa konyol tertentu dalam kehidupan sehari-hari, secara spontan kita akan mengumpat: “Ah, dasar Si Kabayan!”


Jakob Sumardjo yang tengah khusyuk-khusyuknya mendalami artefak-artefak budaya Sunda lewat sejumlah penelitian yang tak kenal lelah, dengan buku terbarunya ini telah membuka pemahaman dan gambaran lain tentang sosok Si Kabayan. Di mata Jakob yang keturunan Jawa, Si Kabayan bukan hanya sosok konyol dan malas, namun juga seorang yang cerdas, bijak dan religius. Jakob telah mengangkat derajat Si Kabayan yang dipahami masyarakat luas sebagai pelawak ke maqom yang sebenarnya, yakni seorang mursyid yang sudah mencapai teu nanaon ku nanaon atau tidak apa-apa oleh apa-apa. Seorang guru sufi yang memberikan pencerahan bukan lewat kata-kata tinggi yang susah dimengerti, tapi lewat perbuatan-perbuatan kecil dan sederhana, yang sifatnya jenaka, santai namun penuh makna.


Buku yang menarik ini nampaknya merupakan kelanjutan dari buku-buku Jakob Sumardjo sebelumnya seperti Hermeneutika Sunda, Simbol-simbol Artefak Budaya Sunda dan Khazanah Pantun Sunda, yang merupakan telaah cemerlang atas cerita-cerita rakyat Sunda, artefak yang diwariskan secara lisan dari sebuah kebudayaan yang berkarakter agraris dan berbasis masyarakat pedesaan. Lewat buku-bukunya tersebut Jakob berhasil menarik benang merah antara budaya peninggalan Hindu-Budha, masyarakat pedesaan yang berkarakter agraris serta napas keislaman. Dan jika benang merah itu terus ditariknya, pasti akan sampai juga ke dunia pesantren. Hikmah-hikmah atau ajaran-ajaran yang nilainya sangat dalam namun disampaikan secara santai dan jenaka, juga merupakan karakter dari budaya pesantren. Maka tak heran jika cerita-cerita Si Kabayan, juga sebagian cerita pantun sangat familiar di kalangan pesantren, khususnya pesantren-pesantren salaf. Kesaktian (seperti dalam cerita pantun) serta kejenakaan (seperti dalam cerita Si Kabayan) bukan hanya sekedar wacana bagi orang-orang pesantren, namun sudah menjadi perilaku itu sendiri.


Dalam budaya pesantren dikenal istilah khariqul ‘adah, yang artinya perilaku aneh, nyentrik, seenaknya, juga tingkah lakunya sering di luar perkiraan kebanyakan orang. Perilaku mahiwal ini dipunyai oleh kiai-kiai tertentu atau anak-anak kiai (yang biasanya nakal, jeprut, malas mengaji, berambut gondrong namun gemar berziarah ke makan para wali). Jika ada kiai atau anak kiai yang perilakunya seperti yang disebut di atas masyarakat sekitar biasanya dapat memahami dan memaklumi, bahkan menghormatinya sebagai orang “sakti” yang bisa memberikan berkah. Kadang keanehan atau kenyentrikan seperti itu diyakini sebagai proses menuju maqom tertentu dalam pencapaian spiritual, atau dianggap sebagai metode untuk menyampaikan sesuatu, mengajarkan sesuatu secara simbolik.


Banyak sekali kiai-kiai yang berperilaku aneh dan nyentrik, yang dalam menjalankan misinya memberikan pencerahan suka memakai logika atau perilaku ala Si Kabayan. Bukan hanya untuk urusan dakwah saja, tapi juga ketika harus mengatasi konflik atau mengambil keputusan atas suatu masalah berat, baik dengan internal pesantren, dengan masyarakat sekitar maupun dengan pemerintah sehingga laukna beunang caina herang. Persoalan yang berat kemudian menjadi cair, ketegangan tidak dilawan dengan ketegangan lagi.


Pada awal tahun 1980-an, Gus Dur banyak menulis kolom yang menceritakan perilaku kiai-kiai aneh dan nyentrik ini. Ada kiai sepuh, kiai kampung, kiai jawara, juga kiai muda. Ada kiai yang santrinya ribuan, ada kiai yang santrinya hanya belasan, ada kiai yang tidak punya santri sama sekali, dan ada juga kiai yang aktif berpolitik. Kiai-kiai yang diceritakan Gus Dur ini adalah mereka yang sangat memahami budaya dan lingkungannya, sangat memahami bahasa masyarakatnya dan umumnya mempunyai apresiasi terhadap tasawuf.


Jika membaca kembali kolom-kolom yang ditulis Gus Dur sebelum menjadi politisi ini terasa sekali adanya benang merah yang menghubungkan Si Kabayan dengan perilaku dan cara berpikir para kiai tersebut: santai, jenaka, konyol namun cerdas. Memang yang diceritakan Gus Dur kebanyakan kiai-kiai yang berasal dari Jawa, Madura dan Lombok, namun cerita tentang kiai-kiai Sunda juga tak jauh berbeda. Istilah khariqul ‘adah juga sangat dikenal di kalangan pesantren-pesantren Sunda. Pesantren-pesantren tua di sekitar Banten, Sukabumi, Cianjur, Garut dan Tasikmalaya banyak mempunyai kiai-kiai aheng yang bukan hanya nyentrik, namun juga sakti.


Kembali ke Paradoks Cerita-cerita Si Kabayan. Seperti juga buku-bukunya terdahulu yang mengkaji pantun-pantun Sunda dengan cukup mendalam, lewat buku terbarunya ini Jakob Sumardjo telah melakukan sebuah pendekatan yang tepat terhadap cerita-cerita Si Kabayan yang populer itu. Dengan pendekatan hermeneutic yang khas miliknya, Jakob berhasil menguak sisi lain dari kekonyolan dan kejenakaan Si Kabayan, juga berhasil mendedahkan sisi sufistik di balik perilaku Si Kabayan yang jeprut itu.


“Pembacaan secara makrifat-esoterik akan menampilkan sosok Si Kabayan bukan tokoh lucu dan konyol, tetapi tokoh cerdas dan amat serius. Si Kabayan seolah guru keramat itu sendiri. Memang lagak lagunya kadang konyol, porno, tak waras, pokoknya mahiwal, aneh-aneh, tetapi itu hanya metode penyampaian ajaran belaka. Di Jawa Barat tokoh sejarah semacam itu adalah Haji Hasan Mustapa. Kisah-kisah hidupnya juga dipenuhi dengan gambaran-gambaran paradoksal. Itulah manusia yang telah sampai. Manusia insanul kamil pada tingkat makrifat. Tidak apa-apa oleh apa-apa lagi. Kehujanan tidak basah, kepanasan tidak kering. Kaya yang miskin. Cerdas yang bodoh. Mulia yang hina, hina yang mulai. Mirip Si Kabayan....” tulis Jakob Sumardjo di salah satu bagian bukunya.


Siapakah sebenarnya Si Kabayan? Berbeda dengan tokoh Abu Nawas yang jelas silsilah dan fakta sejarahnya, Si Kabayan hanyalah tokoh rekaan dari cerita-cerita simbolik yang beredar di tengah masyarakat pedesaan. Dengan kata lain cerita-cerita Si Kabayan adalah sebuah “metode” untuk menyampaikan ajaran atau kearifan yang dimiliki masyarakat Sunda. Meskipun tokoh dan settingnya lokal, dalam hal ini Sunda, namun nilai-nilai yang terkandung di dalamnya bersifat universal. Tokoh pintar-pintar bodoh seperti Si Kabayan terdapat juga dalam versi yang berbeda di beberapa suku lain di Indonesia. Bahkan jika dipahami secara esoterik, cerita-cerita Si Kabayan bisa disandingkan dengan kisah-kisah para sufi dari Timur Tengah. Hanya saja cerita-cerita Si Kabayan sangat kuat unsur humornya, yang secara tidak langsung menunjukkan karakter masyarakat Sunda.


. Mengaitkan cerita-cerita Si Kabayan ke dunia tasawuf tentu bukan sesuatu yang aneh atau mengada-ada. Jakob Sumardjo selain mempunyai pengetahuan yang luas tentang sejarah kebudayaan, antropologi dan sosiologi, juga sangat paham tentang proses masuknya Islam ke wilayah Indonesia. Masuknya Islam ke Indonesia bukan lewat sebuah penaklukan politik, namun lewat persentuhan budaya. Masuknya Islam ke Indonesia juga tidak dibawa oleh para politisi atau tentara, namun oleh para pedagang. Dan jenis Islam yang pertama-tama masuk ke Indonesia adalah tasawuf. Dan tasawuflah yang kemudian memelihara secara harmonis budaya-budaya yang sebelumnya sudah ada.


Begitu juga masuknya Islam ke tatar Sunda, pada awalnya meresap lewat budaya. Maka tak mengherankan jika Islam yang berkembang di tatar Sunda (seperti yang ditunjukan oleh para kiai maupun pesantren-pesantrennya kemudian) adalah Islam yang mesra, bukan Islam yang tegang atau beringas. Islam yang akrab dengan tradisi, yang mengapresiasi karya seni. Maka tak mengherankan jika masyarakatnya pun mempunyai rasa humor tinggi.


Di tengah krisis kepemimpinan dan ruwetnya dunia perpolitikan kita, membaca dan menghayati kembali makna yang terkandung dalam cerita-cerita Si Kabayan menjadi penting. Kita merindukan munculnya pemimpin, baik pemimpin nasional, lokal maupun agama, yang bukan hanya pintar namun juga sedikit bodoh seperti Si Kabayan. Bukankah kita sudah bosan dipimpin orang-orang pintar yang kepintarannya hanya digunakan untuk memintari orang lain? Kita merindukan pemimpin yang bukan hanya gagah namun juga mempunyai rasa humor tinggi. Bukankah kita juga sudah lelah dipimpin orang-orang gagah yang hobinya menindas sehingga tak ada kesempatan bagi rakyat untuk tersenyum? Menurut hemat saya, sosok seperti Si Kabayan sangat cocok untuk memimpin bangsa yang paradoks seperti Indonesia ini.


(2008)

Prev Next Next