Share |

Arikel 4

PARA PENYAIR SALAF


Acep Zamzam Noor


SEKITAR sembilan tahun yang lalu, Ahmad Faisal Imron bersama beberapa rekannya dari sebuah pesantren tradisional di Garut sering berkunjung ke rumah saya untuk melihat-lihat lukisan dan buku-buku seni rupa. Faisal waktu itu seorang santri yang sudah berkelana dari pesantren ke pesantren. Dari balik kopiah hitam nampak rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Seperti rekan-rekannya yang juga berambut gondrong, Faisal jarang sekali bicara. Meski tidak banyak bicara, saya tahu diam-diam ia mempunyai minat yang luar biasa pada seni rupa. Belakangan saya mendengar ia dan rekan-rekannya aktif melukis dan menggelar pameran di pesantren. Selain itu Faisal pun serius menekuni penulisan puisi, yang kemudian diikuti juga oleh rekan-rekannya yang lain.


S. Dimarulloh, Ahmad Taufik Akbar, Muhammad Zaxiani Gufron, Ahmad Fauzi Nanda dan Ilafat Salamandra adalah rekan-rekannya yang pertama diperkenalkan pada saya. Kemudian Darda Surya Pertama, Saefulloh Al-Mashluul, Diki A. Sodik, Topan Selatan, Asep Santayana dan lain-lain. Tentu saja nama-nama ini tidak semua nama yang sebenarnya, tapi nama “baptis” kesenimanan mereka. Nama yang dijadikan terapi untuk tetap kreatif berkarya. Parman misalnya, ia mengaku merasa intens menulis puisi setelah namanya dirubah menjadi S. Dimarulloh. Atau Gufron yang merasa lebih mantap dengan tambahan Muhammad Gaxiani. Begitu juga Wahyudin dan Aep yang memilih nama Ilafat Salamandra dan Saefulloh Al-Mashluul, sebab nama asli mereka sepertinya lebih cocok untuk pedagang atau satpam. Uniknya mereka berkarya dalam banyak bidang, selain melukis dan menulis puisi sebagian dari mereka juga main musik, mendalami seni bela diri serta pengobatan alternatif.


Sebenarnya mereka tidak berasal dari satu pesantren, tapi mereka bertemu di pesantren-pesantren yang pernah disinggahinya. Ada yang tadinya mondok di Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Cianjur, Ciparay, Cililin, Banten dan Sukabumi. Sebagai santri salaf yang mengkhususkan mengaji kitab-kitab kuning, mereka mempunyai tradisi keluar masuk pesantren untuk mendalami kitab-kitab tertentu. Untuk mendalami kitab-kitab alat biasanya para santri salaf memilih Garut, untuk fikih dan tauhid memilih Tasikmalaya atau Ciamis, untuk mantiq memilih Cianjur atau Sukabumi, sedang untuk hikmah dan tasawuf memilih Banten atau Garut selatan. Dan pesantren-pesantren yang mereka masuki itu bukanlah pesantren-pesantren terkenal yang namanya sering muncul di koran, tapi pesantren-pesantren tradisional yang berada di pedalaman.


Dengan latar seperti itu sebenarnya mereka tak banyak bersentuhan dengan dunia kesenian, baik lewat bacaan maupun pergaulan. Memang modal mereka yang utama bukanlah bacaan atau pergaulan, namun kekhusyukan mereka sebagai santri. Ada atmosfir puitik pada pesantren-pesantren salaf atau tradisonal yang umumnya berada di kampung, dikelilingi sawah dan dekat dengan sungai. Di sana selalu ada suara kericik air, baik dari sungai, sumur maupun pancuran. Selalu ada bunyi cengkerik atau kodok menjelang senja. Selalu ada dingin yang menyergap setiap malam tiba. Tapi yang lebih penting lagi, bahwa di pesantren mereka menyantap nasi liwet dengan ikan peda, jengkol dan sambal terasi setiap hari. Makanan yang sangat cocok bagi calon-calon penyair serius karena mengandung nutrisi sufistik yang bisa menumbuhkan ketulusan dan keikhlasan. Bagi saya ketulusan dan keikhlasan inilah modal utama seseorang memasuki dunia kepenyairan, apapun latar belakangnya.


Proses mengaji bergaya salaf nampaknya diterapkan juga dalam proses kreatif mereka dalam berkesenian. Selain secara berkala mendiskusikan karya-karya mereka sendiri, secara berkala pula mereka mengadakan kunjungan ke seniman-seniman tertentu yang dipercayai kadar ketulusan dan keikhlasannya. Di Bandung mereka sering mengunjungi ustadz Tisna Sanjaya, ustadz Isa Perkasa, ustadz Andar Manik, ustadz Beni R. Budiman almarhum, ustadz Wawan S. Husin dan ustadz Michael Cahya. Mereka juga mendapat siraman rohani dari kiai Ahmad Syubanuddin Alwy di Cirebon, kiai Sitok Srengenge di Depok, kiai Godi Suwarna di Ciamis, kiai Eriyandi Budiman di Banjaran, kiai Saeful Badar dan kiai Nazarudin Azhar di Tasikmalaya. Kadang mereka juga meminta waktu untuk menggelar pementasan atau mengadakan diskusi di rumah saya, di Cipasung.


Selain melakukan pengajian sorogan ke seniman-seniman tersebut, mereka melakukan ritual-ritual yang sifatnya mengharapkan berkah atau “barokah”. Ada tradisi di pesantren salaf, bahwa untuk mendalami kitab-kitab yang dianggap kelas berat para santri biasanya mengamalkan wirid tertentu yang disertai puasa. Hal ini nampaknya mereka lakukan juga ketika mendalami puisi. Untuk menguasai metafor saja misalnya, mereka mengamalkan ribuan wirid dan puasa beberapa hari yang biasanya dilakukan untuk mendalami kitab-kitab tebal seperti Alfiyyah atau Fathul Muin. Bagi para santri apapun yang mereka pelajari, yang paling utama harus ada berkahnya, harus ada manfaatnya. Dengan demikian apapun yang dikerjakan akan menjadi ibadah.


Berkah inilah yang kemudian saya tafsirkan sebagai kesungguhan mereka memasuki dunia kepenyairan. Berkah ini pula yang saya yakini, bahwa secara mental mereka siap untuk tidak terkenal. Siap untuk tidak menjadi penyanyi dangdut atau mubalig kondang. Hal terakhir ini nampak dari keengganan untuk mempublikasikan puisi-puisi mereka ke media massa. Puisi-puisi mereka lebih banyak beredar di kalangan mereka sendiri atau hanya dikirim ke penyair-penyair yang mereka percayai kadar keikhlasannya. Selintas sikap mereka ini terkesan eksklusif, tapi itulah watak dari santri yang tidak suka menonjol-nonjolkan diri.


***


Ada sembilan penyair yang puisi-puisinya akan saya tinjau sebagai catatan ini. Saya akan memulai dengan Ahmad Faisal Imron, seorang penyair yang ketika masih menjadi santri maupun setelah kini dipanggil orang kiai, sangat irit dalam berkata-kata. Keiritan ini nampak dalam puisi-puisi awalnya yang banyak menampilkan kalimat-kalimat pendek namun sangat terpilih. Kalimat-kalimat yang terkesan meditatif. Bukan hanya irit bicara, tapi juga irit mengeluarkan tawa. Tentu saja sikap irit ini bukan dibuat-buat untuk meyakinkan orang bahwa ia seorang yang khusyuk, serius dan hanya memikirkan yang inti-inti saja. Sikap ini memang sudah bawaannya sejak kecil.


Setelah menyelesaikan pendidikan formal sampai lulus Madrasah Aliyah di Pesantren Baitul Arqom, pesantren yang diasuh ayahnya di bilangan Ciparay, Kabupaten Bandung, ia menjelajah ke sejumlah pesantren salaf di Jawa Barat: Daarul Hikmah Sukabumi, Riyaadhul Alfiyyah Garut, Riyaadhul Mantiqiyyah Cianjur, Buya Dimyati Banten serta beberapa pesantren lain meski hanya dalam waktu singkat. Tak lama setelah menyunting seorang gadis asal Garut, ia kembali ke kampungnya dan ikut mengasuh pesantren. Belakangan, selain memberikan pengajian di pesantren ia juga banyak didatangi tamu-tamu yang mempunyai berbagai masalah, baik masalah fisik, psikis maupun ekonomis. Mulai dari yang pembuluh darahnya pecah, rumahtangga berantakan sampai yang banyak hutang. Semuanya ia layani: yang sakit diobati, yang stres dinasihati, sedang yang terbelit hutang dimandikan di sungai. Tentu saja mereka juga dikasih wirid-wirid khusus untuk diamalkan. Uniknya cara “pengobatan” yang dilakukan Faisal bukan hanya dengan wirid-wirid saja, tapi kadang juga diterapi dengan puisi, yang dikombinasikan dengan minuman herbal yang diambil dari zat hijau daun. Dalam suasana seperti inilah proses kreatif Ahmad Faisal Imron berlangsung.


Seperti disinggung di atas, puisi-puisi Ahmad Faisal Imron yang awal sering berupa kalimat-kalimat pendek, yang kadang disusun ke bawah menjadi sebuah puisi panjang. Ia banyak mengolah anasir-anasir alam dalam hubungannya dengan pengalaman spiritual. Ia juga banyak menyebut waktu seperti jam, nama bulan atau tahun dalam perenungannya tentang maut. Sejumlah metafor dari khazanah pesantren atau keagamaan juga kadang muncul di tengah metafor-metafor alamnya. Dalam perkembangannya, seperti yang banyak terdapat dalam antologi ini, baris-baris puisinya cenderung melebar ke samping dan menjadi ungkapan panjang yang pejal. Kadang kalimat-kalimatnya terasa dingin, keras dan sensual. Kadang berupa penggambaran suasana yang utuh, laporan pandangan mata (juga mata batin) yang rinci.


Umumnya puisi-puisi Ahmad Faisal Imron banyak berkisah tentang peristiwa yang dialaminya baik secara fisik maupun metafisik, tentang moment tertentu yang dihayatinya, tentang perjalanan serta penafsiran yang mendalam pada alam dan benda-benda. Semua diungkapkan dengan penggambaran yang cenderung visual. Puisi-puisinya seperti panorama yang surealistik, seperti potret senja dengan warna kecokelat-cokelatan yang samar namun tidak kehilangan detailnya. Memang puisi-puisinya cenderung mengangkasa, dengan bingkai yang besar merekam keluasan alam raya. Kesan ini terasa sekali pada puisi “Gamelan”, “Bernama Amis Darah”, “Buih-Buih”, “Riak Danau” atau “Kau Mainkan Seruling Penghabisan”. Saya kutip satu bait dari salah satu puisinya:


manik-manik pagi, sepasang bukit hijau berkarat

seperti ingin mendewasakan jasad dan pikiran kami

setelah terjebak ilusi-ilusi yang memilukan

lantai air, semerbak lava, dingin yang termaknai

masih juga kami persembahkan rasa benci


Ahmad Taufik Akbar adalah kawan seiring Faisal ketika menjelajahi berbagai pesantren salaf di Jawa Barat. Taufik juga rambutnya gondrong meski selalu ditutupi kopiah putih. Sosoknya kurus, mukanya tirus dan pakaiannya kurang terurus. Pengagum Chairil Anwar ini dikenal sebagai santri yang bohemian, berani melakukan perjalanan jauh dengan uang pas-pasan. Ia mempunyai keterampilan tertentu untuk mengelabui kondektur. Ia mempunyai kiat jika merasa lapar atau kehabisan ongkos di perjalanan. Ia juga mempunyai cara untuk menonton bioskop tanpa karcis, bahkan bisa mendapatkan buku-buku secara “gaib” tanpa harus membeli.


Taufik rajin melakukan puasa senin dan kamis, baik ketika masih mondok maupun setelah mengelola pesantren kecil di kampungnya, di pedalaman Subang. Puasa baginya adalah bagian dari proses kreatif. Dengan puasa ia melatih kesabaran, ketabahan dan ketulusan melayani orang lain. Dengan puasa ia melatih agar selalu berjarak dengan dunia dan mensyukuri apa-apa yang ada. Puisi-puisinya yang cenderung sufistik memang digali dari proses spiritual yang bagi orang lain akan terasa berat. Tapi ia melakukan semua itu bukan demi puisi semata, namun sebagai laku keseharian yang kebetulan bermanfaat bagi proses kreatifnya sebagai penyair maupun kiai yang mengasuh sejumlah santri.


Puisi-puisi Ahmad Taufik Akbar sangat liris dengan bentuk yang tersusun tertib, berbait-bait dengan jumlah baris yang hampir sama. Bahasanya jernih, kata-katanya terpilih dan satu sama lain saling bertautan. Puisi-puisinya seperti impresi dari sebuah suasana yang serba fana. Pergerakan waktu, pergantian musim atau datangnya senja sering ia gambarkan dengan imaji-imaji perempuan. Bibir yang merekah, leher yang jingga, jemari yang menari, rambut yang kelam, paha atau dada terbuka. Ada nada sensual yang kemudian ditariknya pada suasana spiritual. Puisi-puisi semacam ini sebenarnya sangat umum bagi pembaca sastra, namun yang kemudian menjadi lain adalah intensitasnya. Terasa bahwa kata-kata yang sederhana bisa bergema ketika diberi ruh oleh penyairnya. Saya tidak tahu apakah ruh ini berasal dari puasa yang ia lakukan secara konsisten, atau dari tahajud yang ia dawami setiap malam. Yang jelas ruh bagi puisinya ini hadir dari kekhusyukannya dalam memilih kata-kata, mengatur irama serta mengukur diksi secara pas. Dan kekhusyukan inilah yang terus ia latih dari laku spiritualnya selama ini.


Sejumlah puisi yang terhimpun dalam antologi ini menunjukkan bahwa ia sudah bekerja keras untuk mencapai sebuah kesederhanaan yang ingin ditujunya:


September masih menunggu nyanyian laut

Nyanyian laut adalah mimpi kami

Untuk diceritakan pada rimba yang lepas

Pada malaikat-malakat pemalas

Pada pohon-pohon, pada akhir tahun

Pada rahimmu yang menyimpan sebuah kota


S. Dimarulloh juga dulunya gondrong. Ia senang memakai celana jeans dan kaos oblong, yang kemudian ia selaraskan dengan kopiah dan sandal jepit. Meski sosoknya pendek, pendiam, dan sedikit malu-malu namun ia seorang pekerja keras. Ia bisa melakukan pekerjaan apa saja, mulai dari menembok sampai menggergaji kayu. Mulai dari menguras sumur sampai membangun kandang ayam milik kiai. Ia pandai memanjat pohon kelapa, membetulkan genting bocor sampai memasang antene parabola. Ia sangat senang mengumpulkan potongan-potongan kayu, belahan-belahan bambu, besi-besi tua yang tak terpakai serta batu-batuan sungai. Kesenangannya mengumpulkan benda-benda temuan tersebut kemudian mendorongnya untuk berkarya seni instalasi. Selain menulis puisi, ia memang mendalami seni rupa secara luas. Uniknya ia melakukan semua aktifitas keseniannya di pesantren. Tak kurang dari tujuh pesantren salaf pernah ia masuki di masa-masa pencariannya, dan setelah berkeluarga barulah ia mendirikan pesantren sendiri di kampungnya, di kawasan Cililin. Kini ia tidak lagi gondrong, tidak lagi memakai celana jeans dan kaos oblong, tapi baju batik dan kain sarung.


Puisi-puisi S. Dimarulloh dari segi rancang bangun selintas mengingatkan saya pada karya rekannya Ahmad Taufik Akbar. Liris, tertib namun sublim. Kata-katanya yang kental tersusun dalam bait-bait yang formal. Ia nampak kuat dalam membangun suasana dan kesan. Namun berbeda dengan Taufik yang cenderung romantis dan melankolis, Dimar justru banyak menampilkan imaji-imaji kekerasan, kesakitan dan jeritan meski dengan cara yang liris. Kesepian, keterasingan dan keberjarakan antar manusia menjadi tema utama puisi-puisinya. Jika puisi-puisi Taufik nampak lebih terolah dalam kesederhanaannya yang utuh, puisi-puisi Dimar sepertinya masih menyisakan satu dua kata atau kalimat yang mengganggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh cara kerjanya yang cenderung menggebu. Namun “Qiyafah Masa Lalu”, “Biarlah Langit Membiru” dan “Interval Malam Yang Tak Pernah Selesai” adalah puisi-puisinya yang menurut saya termasuk berhasil. Saya kutip salah satu bait dari puisinya:


Seseorang merakit cahaya di tangannya

Namun angin lebih kejam dan menghujatnya

Kudengar jeritan dari lorong-lorong

Napas kelelawar terpatah-patah di utara

Segalanya tak ada yang lebih buruk

Ketimbang sebagian malam yang digagalkan rembulan


Muhammad Zaxiani Gufron juga berambut gondrong, bahkan keriting. Berbekal rambut gondrongnya ia mondok di Pesantren Hegarmanah Majalaya, di Pesantren Raudhotul Muta’alimin Garut, Al-Wardayani Sukabumi, Jambudipa Cianjur, Riyadul Mantiqiyah Cianjur, Babussalam Cililin, Mursidal Falah Bandung dan Riyadul Ushuliyah Tasikmalaya. Di pesantren-pesantren salaf inilah ia berkenalan dengan puisi, terutama setelah bertemu dengan santri-santri lain yang juga menyukai puisi. Gufron mempunyai kebiasaan yang baik, hobi berziarah ke makam-makam wali atau kiyai. Ia bisa bertahan berminggu-minggu di Pamijahan atau Gunung Jati, bahkan hampir seluruh makam wali atau kiyai di pulau Jawa pernah dikunjunginya. Dari ziarah-ziarahnya itu ia mengaku tidak mencari sesuatu yang sifatnya duniawi, kecuali ingin merenungi waktu dan kematian.


Meski sejumlah pesantren sudah dimasukinya, sejumlah makam wali dan kiyai sudah diziarahinya, namun tak menghilangkan kecenderungannya yang kuat untuk berniaga. Tidak seperti rekan-rekannya yang mendirikan pesantren sepulangnya ke kampung, ia malah aktif bertani. Banyak bidang usaha pertanian yang pernah digelutinya, mulai dari berkebun singkong di belakang rumah sampai berkebun kopi yang luasnya hektaran. Aktifitasnya dalam dunia pertanian ini membuat ia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah sosial. Tak heran jika puisi-puisi Gufron nampak lebih telanjang dalam ungkapan dan lebih kontekstual dalam tema. Saya masih ingat puisi-puisi awalnya yang ditulis akhir 1990-an, begitu bergelora dan penuh semangat perlawanan. Ia banyak mengungkapkan masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan krisis yang melanda Indonesia waktu itu. Namun ia belum menemukan bentuknya yang artistik.


Saya senang membaca puisi-puisi baru Muhammad Zaxiani Gufron dalam antologi ini. Ada upaya pengendapan yang lanjut, ada upaya menahan diri hingga kata-kata tidak berhamburan ke luar, namun berkelindan ke dalam. Masalah-masalah sosial dan religius bertautan satu sama lain, menjadi sebuah kewajaran. Itulah watak penyair yang sebenarnya, tak bisa disekat-sekat oleh tema atau terminologi. Tak ada istilah penyair sosial, tak ada penyair religius, tak ada penyair santri atau abangan, yang ada hanyalah penyair yang boleh menulis apa saja. Dan yang dilakukan Gufron tetap pada watak awalnya, menggunakan kalimat-kalimat lugas dan sederhana, imaji-imajinya pun apa adanya. Tak banyak upaya mengindah-indahkan ungkapan. Lugas, spontan, namun kena. Saya senang membaca puisi-puisinya yang berjudul “Bercinta Di Kuburan”, “Setiap Malam”, “Di Balik Terali”, “Kecantikan Yang Menyalakan Dendam” atau “Sepotong Tangan Ibrahim”. Saya kutipkan salah satu puisinya:


Al-Ghazali, Al-Hikam nama samaran

Nama samaran dari iklim yang maha tropis

Nama aslinya sempat kulupakan di aula hotel

Mungkin tertinggal di toilet

Tempat kami memuntahkan perasaan


Hari ini malam Sabtu sangatlah lugu

Detik demi detik menggelitik

Malam menggeliat seperti gadis dalam mataku

Bulan, hujan dan awan mengemis

Jalan-jalan dan pohon mahoni meringis

Desir angin multi tafsir dan jauh


“Ibu! Aku ingin pulang dari negeri orang

Aku rindu pelukanmu yang hijau

Aku ingat tanggal 17 Agustus yang akan datang

Kau akan bangkit dari kubur

Membentangkan seribu kafan dari Sabang sampai Merauke”


Penyair lain adalah Ilafat Salamandra. Dulu ketika zamannya mondok di pesantren ia juga berambut gondrong. Ia satu angkatan dengan Faisal, Taufik, Dimar dan Gufron. Namun lelaki kelahiran Ciamis ini tidak mendirikan pesantren sepulangnya berguru ke sana ke mari. Ia malah memilih berdagang ayam sayur di pasar Ciroyom, Bandung. Meski begitu, di kalangan pedagang pasar ia dikenal sebagai ustadz yang biasa memberikan pengajian mingguan. Selain menulis puisi, Ilafat juga aktif melukis dan membikin karya seni instalasi. Ia bangga sebagai pedagang ayam sayur yang aktif berkesenian, karena salah seorang seniman kontemporer Indonesia yang menjadi idolanya, Tisna Sanjaya, juga mempunyai bidang usaha yang sama. Ia juga bangga karena seluruh ayam yang dijual di jongkonya dijamin halal: disembelih dengan membaca basmallah dan tidak diolesi formalin. Sikap kepenyairan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kejujuran telah berhasil diterapkannya dalam dunia dagang di pasar, sebuah dunia yang sepertinya berseberangan dengan kesenian.


Sebagai seniman nampaknya Ilafat Salamandra mempunyai napas yang panjang. Bukan hanya lukisan-lukisannya berukuran besar, tapi juga puisi-puisinya tergolong berat. Berat, karena puisi-puisinya berwujud kalimat-kalimat panjang dengan baris-baris yang begitu rapat. Secara teknis mungkin sudah mempunyai daya pikat sebagai puisi, kalimat-kalimat panjangnya penuh dengan warna dan imaji-imajinya begitu kaya. Namun di sisi lain ada kesan imaji-imaji tersebut terlalu melebar ke mana-mana: alam, cinta, realitas sosial, mitos, sejarah, agama, kehidupan kota, industri, musik sampai ikon-ikon kontemporer. Tentu bukan hal yang mudah menyatukan imaji-imaji yang berserakan ini dalam suatu keutuhan, butuh kerja keras dan kesabaran yang luar biasa. Sebab sehebat-hebatnya ungkapan, secanggih-canggihnya imaji akan kurang greget-nya sebagai puisi jika kehilangan fokus. Seperti butir-butir mutiara yang ditabur di atas nampan, indah namun malah menyilaukan mata.


Ungkapan dari salah satu puisinya yang cukup bagus saya kutipkan di sini:


Satu malaikat terbakar lagi sayap dan jubahnya

Kemudian api melumat kuil-kuil dan katedral

Tapi orang-orang malah membuang kitab sucinya

Ke balik tembok-tembok gelap, melacurkan diri

Michael, biarkan fantasi dan waktumu bertarung

Selama kegilaan ini tidak kita jadikan agama

Menangis akan lebih baik dibanding dusta


Dari tangan Kitaro seekor Kohaku berdansa

Di kolam kaca, seperti ballerina yang melantai

Perang masih juga diagung-agungkan angkara

Seorang samurai muda ambruk berlumur darah

Ada pesta-pesta kecil dan orang yang terbahak

Mereka menyebut-nyebut negeri dan pahlawannya

Cinta memang selalu memberi kado yang aneh


Saefulloh Al-Mashluul juga berambut gondrong seperti rekan-rekannya yang lain. Ia menyelesaikan SD sampai Madrasah Aliyah di lingkungan pesantren, lalu belajar seni lukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STISI) Bandung sampai selesai, dan kembali lagi ke pesantren. Gondrongnya Saefulloh agak lain, tidak dipadukan dengan kopiah, sandal dan sarung. Dalam hal berpakaian ia sedikit lebih gaul dan trendi: sepatu boots, jeans sobek, oblong bergambar musisi dan jaket kulit. Seuntai kalung tergantung di lehernya, gelang di lengannya, giwang di telinganya dan sedikit jenggot di dagunya. Sepintas penampilannya seperti pemain band masa kini. Ia juga cukup akrab dengan cewek-cewek dan tidak tabu dengan dunia kafe. Hal ini tidak terlalu mengherankan karena ia memang tinggal di Bandung. Meski hidup di kota besar, toh ia tetap memilih tinggal di lingkungan pesantren, yakni di Al-I’anah, Cibogo. Sambil tetap mengaji ia membuka usaha sablon.


Seperti halnya Ilafat, Saefulloh juga bernapas panjang. Puisi-puisinya deras dengan bait yang susul menyusul. Bahasanya lancar meski imaji-imaji yang diusungnya begitu rapat dan padat. Saefulloh nampaknya mulai tahu bagaimana membuang kata atau kalimat yang tidak perlu. Paham di mana menempatkan titik sentral dalam komposisi. Maka ketika membaca puisi-puisinya yang cukup panjang sekalipun, napas kita tidak terengah-engah dibuatnya. Hal ini bukan disebabkan karena temanya kebanyakan tentang cinta, namun karena kita menemukan alur yang jelas dari imaji-imaji yang ditatanya. Kita menemukan fokus pada puisi-puisinya. “Mishwa”, “Momento Mori”, “Solilokui: Nyanyian Dari Balik Dada” dan terutama “Deus Ex Machina” bagi saya merupakan puisi-puisi yang bukan saja berhasil, tapi juga indah. Saya kutipkan penggalan dari salah satu puisinya:


Neng, pahamilah taswir ini:

Sebab kau merakit diri sebagai pelangi

Akulah doa di biru hidupmu

Betapapun masa silam selalu menarik untuk dikenang

Walau terkadang menjadi kematian yang berulang


Seperti penggali kubur kulobangi kenanganku

Kau terbaring di sana

Tapi sajak-sajak enggan menimbunnya

Aku memintamu, dengan bahasa yang halus

Siapkanlah batu nisan

Agar kuukir kenangan kita di atasnya

Untukmu, sajak ini kutabur bagai daun gugur


Darda Surya Pertama adalah penyair yang paling muda, lahir di Garut 9 Maret 1980. Tak banyak pesantren yang dimasukinya, namun di Riyaadlul Alfiyyah, yang terletak di pinggiran Garut, ia mondok cukup lama. Sekarang pun ia masih betah di sana sambil membantu kiai mengajar santri-santri pemula, di samping ikut menjalankan bisnis minyak wangi dan batu permata. Darda orangnya pendiam dan sedikit agak grogian. Ia tak pandai bicara apalagi berdebat seperti pengacara, namun ia sangat rajin menjalankan puasa. Setiap tengah malam ia mendawamkan zikir atau wirid yang telah diberi izajah oleh kiainya, dan sering kedapatan oleh teman-temannya ia tidur dalam posisi duduk.


Ketika membaca puisi-puisi pertamanya pada akhir 1990-an, saya cukup kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, dalam usia begitu muda dan proses belajar yang begitu singkat puisi-puisinya sudah menampakkan bentuk yang jelas. Ia sudah terampil menggunakan metafor, sudah lihai memainkan imaji dan canggih mengatur bunyi. Puisi-puisinya merdu, mengalir lancar seperti air, dengan sedikit liukan yang mengagetkan di sana sini. Setahu saya ia tak mempunyai latar belakang bacaan yang luas tentang kesusastraan apalagi kebudayaan, begitu juga pergaulannya hanya terbatas dengan santri-santri penggemar puisi saja. Mungkin ia tak pernah mengenal teori-teori akademis, mungkin juga tidak peduli dengan perkembangan puisi mutakhir. Tapi di situlah keajaiban puisi, tidak hanya terbit dari pengetahuan, namun bisa juga dari kekhusyukan. Di situ pula ajaibnya kepenyairan, tidak bisa diciptakan atau direkayasa oleh siapapun, namun akan hadir kalau memang sudah waktunya hadir.


Saya kutipkan penggalan dari puisi panjangnya yang berjudul “Pelan-pelan Kamar Ini Beruban”, yang ditulis Darda Surya Pertama pada masa awal kepenyairannya:


Seperti biasa kami berkumpul dengan label di kepala

Pada malam yang diistimewakan tanggal dan almanak

Seseorang dari kami mulai menyalakan kalimat

Genderang perang meletup dengan memancakan cahaya biru


Asap-asap rokok mengalun, membentuk sebuah tarian

Meloncati sebuah jendela yang terbuka. Bersama pecahan kaca

Yang tercampakkan, kau hanyatersenyum

Dengan sajak dalam genggaman


Suasana mengerang dalam gemuruh ungu

Kata-kata berhamburan penuh kekhidmatan. Satu persatu

Sajak-sajak ditelanjangi dengan lugas. Di luar

Malam terbaring di antara nada-nada dingin


Tak ada hujatan yang membuat kalimat diperpanjang

Hanya sedikit kebodohan yang disembunyikan

Kaumasukan butiran cahaya di antara nama-nama

Yang tergeletak di atas lantai, kausingkirkan

Wangi mawar dari pamrih dan ketulusan


Seperti juga rekan-rekan seniornya, Diki A. Sodik sudah melanglang ke berbagai pesantren di Garut, Cianjur, Sukabumi dan Tasikmalaya. Setelah merasa mantap baru ia kembali ke kampungnya di Ciparay, ikut membantu berbagai kegiatan di Pesantren Baitul Arqom, menjadi seksi dakwah di karang taruna, di samping terus menulis puisi dan main musik. Penyair lajang yang dingin sama perempuan ini sangat tertarik pada tasawuf meski belum melibatkan diri sebagai pengikut kelompok tarekat. Hal ini tergambar jelas dari puisi-puisinya yang penuh kerinduan dan pencarian yang sifatnya eksistensial. Ia banyak menggunakan imaji-imaji alam dan keagamaan untuk mengartikulasikan kegelisahan batinnya. Kadang ia mengindentifikasikan dirinya sebagai musafir atau pengembara yang terus mencari, kadang sebagai mahluk sunyi yang dikutuk Tuhan ke muka bumi.


Membaca puisi-puisi Diki A. Sodik dalam antologi ini ada kesan bahwa ia sudah bekerja keras menggauli bahasa, sudah berlatih cukup lama menaklukan kata-kata. Dan hasilnya adalah puisi-puisi yang nyaris selesai secara teknis, meski di sana sini kita masih merasakan sesuatu yang kurang. Entah apa. Satu hal yang perlu segera diperhatikan adalah bagaimana ia memberi greget bagi puisi-puisinya yang cenderung datar, bagaimana ia memberi ruh agar puisi-puisinya lebih bernyawa. Greget memang tak bisa dicari dari keterampilan teknis belaka, ruh juga sulit untuk dijelaskan dengan teori sastra. Greget dalam puisi mungkin hanya akan muncul dari kekhusyukan, ketulusan dan penyerahan diri yang total pada kata-kata. Begitu juga halnya dengan ruh, tak bisa dipelajari namun harus diselami.


Saya kutip penggalan dari salah satu puisinya yang menurut saya lumayan:


Maka setelah pelayaranmu

Dibiarkannya sebuah pintu terbuka

Dibiarkannya separuh usiaku membengkak

Hingga terhirup ribuan suara jengkerik

Mendendangkan genta malam


Demikianlah setelah doa-doa diterbangkan

Lututmu bergetar menerobos keheningan kota

Tinggal kelam mengeras pada lantai berkarat

Namun kau terus merenda pelangi dalam hutanku

Bagai batu kalimat-kalimatku terbujur kaku



Penyair terakhir adalah Topan Selatan, dari namanya kita sudah diberi isyarat bahwa pemuda tegap berkulit sawo matang ini kelahiran Kalimantan, tepatnya Sambas. Ia pernah mampir di Pesantren Ushuluddin Singkawang dan mondok cukup lama di Pesantren Baitul Arqom Ciparay. Di pesantren yang letaknya di kaki pegunungan ini konon ia pernah mendalami ilmu syariat sekaligus hakikat. Ia belajar fikih sekaligus ilmu hikmah dalam waktu yang bersamaan. Secara pribadi saya belum begitu mengenal penyair berambut rasta yang pernah menjadi lurah pondok di pesantrennya, hingga saya tak bisa berkomentar banyak. Membaca puisi-puisinya dalam antologi ini terasa sekali bahwa penyair ini masih mempunyai persoalan dengan bahasa. Ada kesan kata-kata yang disusunnya kadang tidak terkendali dan masih sering berjalan sendiri-sendiri, terutama jika puisinya agak panjang. Begitu juga imaji-imajinya, seperti belum membulat.


Namun penyair yang satu ini orangnya rajin, mau kerja keras dan hidup prihatin. Pada beberapa puisi pendek misalnya, perjuangannya yang tak kenal lelah menaklukkan bahasa nampak membuahkan hasil: kata-katanya menyuratkan irama dan metafornya menyiratkan makna, seperti yang akan saya kutip sebagai penutup tinjauan ini. Singkat, padat namun menggoda: Tampilkan bayangan lain/Yang bukan di depanmu/Agar aku bebas menabur benih/Di ladang wanita itu…


(2006)

Prev Next Next