Acep Zamzam Noor
SEKITAR sembilan tahun yang lalu, Ahmad Faisal Imron bersama beberapa rekannya dari sebuah pesantren tradisional di Garut sering berkunjung ke rumah saya untuk melihat-lihat lukisan dan buku-buku seni rupa. Faisal waktu itu seorang santri yang sudah berkelana dari pesantren ke pesantren. Dari balik kopiah hitam nampak rambutnya yang panjang diikat ke belakang. Seperti rekan-rekannya yang juga berambut gondrong, Faisal jarang sekali bicara. Meski tidak banyak bicara, saya tahu diam-diam ia mempunyai minat yang luar biasa pada seni rupa. Belakangan saya mendengar ia dan rekan-rekannya aktif melukis dan menggelar pameran di pesantren. Selain itu Faisal pun serius menekuni penulisan puisi, yang kemudian diikuti juga oleh rekan-rekannya yang lain.
S. Dimarulloh, Ahmad Taufik Akbar, Muhammad Zaxiani Gufron, Ahmad Fauzi Nanda dan Ilafat Salamandra adalah rekan-rekannya yang pertama diperkenalkan pada saya. Kemudian Darda Surya Pertama, Saefulloh Al-Mashluul, Diki A. Sodik, Topan Selatan, Asep Santayana dan lain-lain. Tentu saja nama-nama ini tidak semua nama yang sebenarnya, tapi nama “baptis” kesenimanan mereka. Nama yang dijadikan terapi untuk tetap kreatif berkarya. Parman misalnya, ia mengaku merasa intens menulis puisi setelah namanya dirubah menjadi S. Dimarulloh. Atau Gufron yang merasa lebih mantap dengan tambahan Muhammad Gaxiani. Begitu juga Wahyudin dan Aep yang memilih nama Ilafat Salamandra dan Saefulloh Al-Mashluul, sebab nama asli mereka sepertinya lebih cocok untuk pedagang atau satpam. Uniknya mereka berkarya dalam banyak bidang, selain melukis dan menulis puisi sebagian dari mereka juga main musik, mendalami seni bela diri serta pengobatan alternatif.
Sebenarnya mereka tidak berasal dari satu pesantren, tapi mereka bertemu di pesantren-pesantren yang pernah disinggahinya.
Dengan latar seperti itu sebenarnya mereka tak banyak bersentuhan dengan dunia kesenian, baik lewat bacaan maupun pergaulan. Memang modal mereka yang utama bukanlah bacaan atau pergaulan, namun kekhusyukan mereka sebagai santri.
Proses mengaji bergaya salaf nampaknya diterapkan juga dalam proses kreatif mereka dalam berkesenian. Selain secara berkala mendiskusikan karya-karya mereka sendiri, secara berkala pula mereka mengadakan kunjungan ke seniman-seniman tertentu yang dipercayai kadar ketulusan dan keikhlasannya. Di Bandung mereka sering mengunjungi ustadz Tisna Sanjaya, ustadz Isa Perkasa, ustadz Andar Manik, ustadz Beni R. Budiman almarhum, ustadz Wawan S. Husin dan ustadz Michael Cahya. Mereka juga mendapat siraman rohani dari kiai Ahmad Syubanuddin Alwy di Cirebon, kiai Sitok Srengenge di Depok, kiai Godi Suwarna di Ciamis, kiai Eriyandi Budiman di Banjaran, kiai Saeful Badar dan kiai Nazarudin Azhar di Tasikmalaya. Kadang mereka juga meminta waktu untuk menggelar pementasan atau mengadakan diskusi di rumah saya, di Cipasung.
Selain melakukan pengajian sorogan ke seniman-seniman tersebut, mereka melakukan ritual-ritual yang sifatnya mengharapkan berkah atau “barokah”.
Berkah inilah yang kemudian saya tafsirkan sebagai kesungguhan mereka memasuki dunia kepenyairan. Berkah ini pula yang saya yakini, bahwa secara mental mereka siap untuk tidak terkenal. Siap untuk tidak menjadi penyanyi dangdut atau mubalig kondang. Hal terakhir ini nampak dari keengganan untuk mempublikasikan puisi-puisi mereka ke media
***
Setelah menyelesaikan pendidikan formal sampai lulus Madrasah Aliyah di Pesantren Baitul Arqom, pesantren yang diasuh ayahnya di bilangan Ciparay, Kabupaten Bandung, ia menjelajah ke sejumlah pesantren salaf di Jawa Barat: Daarul Hikmah Sukabumi, Riyaadhul Alfiyyah Garut, Riyaadhul Mantiqiyyah Cianjur, Buya Dimyati Banten serta beberapa pesantren lain meski hanya dalam waktu singkat. Tak lama setelah menyunting seorang gadis asal Garut, ia kembali ke kampungnya dan ikut mengasuh pesantren. Belakangan, selain memberikan pengajian di pesantren ia juga banyak didatangi tamu-tamu yang mempunyai berbagai masalah, baik masalah fisik, psikis maupun ekonomis. Mulai dari yang pembuluh darahnya pecah, rumahtangga berantakan sampai yang banyak hutang. Semuanya ia layani: yang sakit diobati, yang stres dinasihati, sedang yang terbelit hutang dimandikan di sungai. Tentu saja mereka juga dikasih wirid-wirid khusus untuk diamalkan. Uniknya cara “pengobatan” yang dilakukan Faisal bukan hanya dengan wirid-wirid saja, tapi kadang juga diterapi dengan puisi, yang dikombinasikan dengan minuman herbal yang diambil dari zat hijau daun. Dalam suasana seperti inilah proses kreatif Ahmad Faisal Imron berlangsung.
Seperti disinggung di atas, puisi-puisi Ahmad Faisal Imron yang awal sering berupa kalimat-kalimat pendek, yang kadang disusun ke bawah menjadi sebuah puisi panjang. Ia banyak mengolah anasir-anasir alam dalam hubungannya dengan pengalaman spiritual. Ia juga banyak menyebut waktu seperti jam, nama bulan atau tahun dalam perenungannya tentang maut. Sejumlah metafor dari khazanah pesantren atau keagamaan juga kadang muncul di tengah metafor-metafor alamnya. Dalam perkembangannya, seperti yang banyak terdapat dalam antologi ini, baris-baris puisinya cenderung melebar ke samping dan menjadi ungkapan panjang yang pejal. Kadang kalimat-kalimatnya terasa dingin, keras dan sensual. Kadang berupa penggambaran suasana yang utuh, laporan pandangan mata (juga mata batin) yang rinci.
Umumnya puisi-puisi Ahmad Faisal Imron banyak berkisah tentang peristiwa yang dialaminya baik secara fisik maupun metafisik, tentang moment tertentu yang dihayatinya, tentang perjalanan serta penafsiran yang mendalam pada alam dan benda-benda. Semua diungkapkan dengan penggambaran yang cenderung visual. Puisi-puisinya seperti panorama yang surealistik, seperti potret senja dengan warna kecokelat-cokelatan yang samar namun tidak kehilangan detailnya. Memang puisi-puisinya cenderung mengangkasa, dengan bingkai yang besar merekam keluasan alam raya. Kesan ini terasa sekali pada puisi “Gamelan”, “Bernama Amis Darah”, “Buih-Buih”, “Riak Danau” atau “Kau Mainkan Seruling Penghabisan”. Saya kutip satu bait dari salah satu puisinya:
manik-manik pagi, sepasang bukit hijau berkarat
seperti ingin mendewasakan jasad dan pikiran kami
setelah terjebak ilusi-ilusi yang memilukan
lantai air, semerbak lava, dingin yang termaknai
masih juga kami persembahkan rasa benci
Ahmad Taufik Akbar adalah kawan seiring Faisal ketika menjelajahi berbagai pesantren salaf di Jawa Barat. Taufik juga rambutnya gondrong meski selalu ditutupi kopiah putih. Sosoknya kurus, mukanya tirus dan pakaiannya kurang terurus. Pengagum Chairil Anwar ini dikenal sebagai santri yang bohemian, berani melakukan perjalanan jauh dengan uang pas-pasan. Ia mempunyai keterampilan tertentu untuk mengelabui kondektur. Ia mempunyai kiat jika merasa lapar atau kehabisan ongkos di perjalanan. Ia juga mempunyai cara untuk menonton bioskop tanpa karcis, bahkan bisa mendapatkan buku-buku secara “gaib” tanpa harus membeli.
Taufik rajin melakukan puasa senin dan kamis, baik ketika masih mondok maupun setelah mengelola pesantren kecil di kampungnya, di pedalaman Subang. Puasa baginya adalah bagian dari proses kreatif. Dengan puasa ia melatih kesabaran, ketabahan dan ketulusan melayani orang lain. Dengan puasa ia melatih agar selalu berjarak dengan dunia dan mensyukuri apa-apa yang ada. Puisi-puisinya yang cenderung sufistik memang digali dari proses spiritual yang bagi orang lain akan terasa berat. Tapi ia melakukan semua itu bukan demi puisi semata, namun sebagai laku keseharian yang kebetulan bermanfaat bagi proses kreatifnya sebagai penyair maupun kiai yang mengasuh sejumlah santri.
Puisi-puisi Ahmad Taufik Akbar sangat liris dengan bentuk yang tersusun tertib, berbait-bait dengan jumlah baris yang hampir sama. Bahasanya jernih, kata-katanya terpilih dan satu sama lain saling bertautan. Puisi-puisinya seperti impresi dari sebuah suasana yang serba fana. Pergerakan waktu, pergantian musim atau datangnya senja sering ia gambarkan dengan imaji-imaji perempuan. Bibir yang merekah, leher yang jingga, jemari yang menari, rambut yang kelam, paha atau dada terbuka.
Sejumlah puisi yang terhimpun dalam antologi ini menunjukkan bahwa ia sudah bekerja keras untuk mencapai sebuah kesederhanaan yang ingin ditujunya:
September masih menunggu nyanyian laut
Nyanyian laut adalah mimpi kami
Untuk diceritakan pada rimba yang lepas
Pada malaikat-malakat pemalas
Pada pohon-pohon, pada akhir tahun
Pada rahimmu yang menyimpan sebuah
S. Dimarulloh juga dulunya gondrong. Ia senang memakai celana jeans dan kaos oblong, yang kemudian ia selaraskan dengan kopiah dan sandal jepit. Meski sosoknya pendek, pendiam, dan sedikit malu-malu namun ia seorang pekerja keras. Ia bisa melakukan pekerjaan apa saja, mulai dari menembok sampai menggergaji kayu. Mulai dari menguras sumur sampai membangun kandang ayam milik kiai. Ia pandai memanjat pohon kelapa, membetulkan genting bocor sampai memasang antene parabola. Ia sangat senang mengumpulkan potongan-potongan kayu, belahan-belahan bambu, besi-besi tua yang tak terpakai serta batu-batuan sungai. Kesenangannya mengumpulkan benda-benda temuan tersebut kemudian mendorongnya untuk berkarya seni instalasi. Selain menulis puisi, ia memang mendalami seni rupa secara luas. Uniknya ia melakukan semua aktifitas keseniannya di pesantren. Tak kurang dari tujuh pesantren salaf pernah ia masuki di masa-masa pencariannya, dan setelah berkeluarga barulah ia mendirikan pesantren sendiri di kampungnya, di kawasan Cililin. Kini ia tidak lagi gondrong, tidak lagi memakai celana jeans dan kaos oblong, tapi baju batik dan kain sarung.
Puisi-puisi S. Dimarulloh dari segi rancang bangun selintas mengingatkan saya pada karya rekannya Ahmad Taufik Akbar. Liris, tertib namun sublim. Kata-katanya yang kental tersusun dalam bait-bait yang formal. Ia nampak kuat dalam membangun suasana dan kesan. Namun berbeda dengan Taufik yang cenderung romantis dan melankolis, Dimar justru banyak menampilkan imaji-imaji kekerasan, kesakitan dan jeritan meski dengan cara yang liris. Kesepian, keterasingan dan keberjarakan antar manusia menjadi tema utama puisi-puisinya. Jika puisi-puisi Taufik nampak lebih terolah dalam kesederhanaannya yang utuh, puisi-puisi Dimar sepertinya masih menyisakan satu dua kata atau kalimat yang mengganggu. Hal ini mungkin disebabkan oleh cara kerjanya yang cenderung menggebu. Namun “Qiyafah Masa Lalu”, “Biarlah Langit Membiru” dan “Interval Malam Yang Tak Pernah Selesai” adalah puisi-puisinya yang menurut saya termasuk berhasil. Saya kutip salah satu bait dari puisinya:
Seseorang merakit cahaya di tangannya
Namun angin lebih kejam dan menghujatnya
Kudengar jeritan dari lorong-lorong
Napas kelelawar terpatah-patah di utara
Segalanya tak ada yang lebih buruk
Ketimbang sebagian malam yang digagalkan rembulan
Muhammad Zaxiani Gufron juga berambut gondrong, bahkan keriting. Berbekal rambut gondrongnya ia mondok di Pesantren Hegarmanah Majalaya, di Pesantren Raudhotul Muta’alimin Garut, Al-Wardayani Sukabumi, Jambudipa Cianjur, Riyadul Mantiqiyah Cianjur, Babussalam Cililin, Mursidal Falah Bandung dan Riyadul Ushuliyah Tasikmalaya. Di pesantren-pesantren salaf inilah ia berkenalan dengan puisi, terutama setelah bertemu dengan santri-santri lain yang juga menyukai puisi. Gufron mempunyai kebiasaan yang baik, hobi berziarah ke makam-makam wali atau kiyai. Ia bisa bertahan berminggu-minggu di Pamijahan atau Gunung Jati, bahkan hampir seluruh makam wali atau kiyai di pulau Jawa pernah dikunjunginya. Dari ziarah-ziarahnya itu ia mengaku tidak mencari sesuatu yang sifatnya duniawi, kecuali ingin merenungi waktu dan kematian.
Meski sejumlah pesantren sudah dimasukinya, sejumlah makam wali dan kiyai sudah diziarahinya, namun tak menghilangkan kecenderungannya yang kuat untuk berniaga. Tidak seperti rekan-rekannya yang mendirikan pesantren sepulangnya ke kampung, ia malah aktif bertani. Banyak bidang usaha pertanian yang pernah digelutinya, mulai dari berkebun singkong di belakang rumah sampai berkebun kopi yang luasnya hektaran. Aktifitasnya dalam dunia pertanian ini membuat ia banyak bersentuhan dengan masalah-masalah sosial. Tak heran jika puisi-puisi Gufron nampak lebih telanjang dalam ungkapan dan lebih kontekstual dalam tema. Saya masih ingat puisi-puisi awalnya yang ditulis akhir 1990-an, begitu bergelora dan penuh semangat perlawanan. Ia banyak mengungkapkan masalah-masalah sosial dalam kaitannya dengan krisis yang melanda
Saya senang membaca puisi-puisi baru Muhammad Zaxiani Gufron dalam antologi ini.
Al-Ghazali, Al-Hikam nama samaran
Nama samaran dari iklim yang maha tropis
Nama aslinya sempat kulupakan di aula hotel
Mungkin tertinggal di toilet
Tempat kami memuntahkan perasaan
Hari ini malam Sabtu sangatlah lugu
Detik demi detik menggelitik
Malam menggeliat seperti gadis dalam mataku
Bulan, hujan dan awan mengemis
Jalan-jalan dan pohon mahoni meringis
Desir angin multi tafsir dan jauh
“Ibu! Aku ingin pulang dari negeri orang
Aku rindu pelukanmu yang hijau
Aku ingat tanggal 17 Agustus yang akan datang
Kau akan bangkit dari kubur
Membentangkan seribu kafan dari Sabang sampai Merauke”
Penyair lain adalah Ilafat Salamandra. Dulu ketika zamannya mondok di pesantren ia juga berambut gondrong. Ia satu angkatan dengan Faisal, Taufik, Dimar dan Gufron. Namun lelaki kelahiran Ciamis ini tidak mendirikan pesantren sepulangnya berguru ke
Sebagai seniman nampaknya Ilafat Salamandra mempunyai napas yang panjang. Bukan hanya lukisan-lukisannya berukuran besar, tapi juga puisi-puisinya tergolong berat. Berat, karena puisi-puisinya berwujud kalimat-kalimat panjang dengan baris-baris yang begitu rapat. Secara teknis mungkin sudah mempunyai daya pikat sebagai puisi, kalimat-kalimat panjangnya penuh dengan warna dan imaji-imajinya begitu kaya. Namun di sisi lain ada kesan imaji-imaji tersebut terlalu melebar ke mana-mana: alam, cinta, realitas sosial, mitos, sejarah, agama, kehidupan
Ungkapan dari salah satu puisinya yang cukup bagus saya kutipkan di sini:
Satu malaikat terbakar lagi sayap dan jubahnya
Kemudian api melumat kuil-kuil dan katedral
Tapi orang-orang malah membuang kitab sucinya
Ke balik tembok-tembok gelap, melacurkan diri
Michael, biarkan fantasi dan waktumu bertarung
Selama kegilaan ini tidak kita jadikan agama
Menangis akan lebih baik dibanding dusta
Dari tangan Kitaro seekor Kohaku berdansa
Di kolam kaca, seperti ballerina yang melantai
Perang masih juga diagung-agungkan angkara
Seorang samurai muda ambruk berlumur darah
Mereka menyebut-nyebut negeri dan pahlawannya
Cinta memang selalu memberi kado yang aneh
Saefulloh Al-Mashluul juga berambut gondrong seperti rekan-rekannya yang lain. Ia menyelesaikan SD sampai Madrasah Aliyah di lingkungan pesantren, lalu belajar seni lukis di Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (STISI) Bandung sampai selesai, dan kembali lagi ke pesantren. Gondrongnya Saefulloh agak lain, tidak dipadukan dengan kopiah, sandal dan sarung. Dalam hal berpakaian ia sedikit lebih gaul dan trendi: sepatu boots, jeans sobek, oblong bergambar musisi dan jaket kulit. Seuntai kalung tergantung di lehernya, gelang di lengannya, giwang di telinganya dan sedikit jenggot di dagunya. Sepintas penampilannya seperti pemain band masa kini. Ia juga cukup akrab dengan cewek-cewek dan tidak tabu dengan dunia kafe. Hal ini tidak terlalu mengherankan karena ia memang tinggal di
Seperti halnya Ilafat, Saefulloh juga bernapas panjang. Puisi-puisinya deras dengan bait yang susul menyusul. Bahasanya lancar meski imaji-imaji yang diusungnya begitu rapat dan padat. Saefulloh nampaknya mulai tahu bagaimana membuang kata atau kalimat yang tidak perlu. Paham di mana menempatkan titik sentral dalam komposisi. Maka ketika membaca puisi-puisinya yang cukup panjang sekalipun, napas kita tidak terengah-engah dibuatnya. Hal ini bukan disebabkan karena temanya kebanyakan tentang cinta, namun karena kita menemukan alur yang jelas dari imaji-imaji yang ditatanya. Kita menemukan fokus pada puisi-puisinya. “Mishwa”, “Momento Mori”, “Solilokui: Nyanyian Dari Balik Dada” dan terutama “Deus Ex Machina” bagi saya merupakan puisi-puisi yang bukan saja berhasil, tapi juga indah. Saya kutipkan penggalan dari salah satu puisinya:
Neng, pahamilah taswir ini:
Sebab kau merakit diri sebagai pelangi
Akulah doa di biru hidupmu
Betapapun masa silam selalu menarik untuk dikenang
Walau terkadang menjadi kematian yang berulang
Seperti penggali kubur kulobangi kenanganku
Kau terbaring di
Tapi sajak-sajak enggan menimbunnya
Aku memintamu, dengan bahasa yang halus
Siapkanlah batu nisan
Agar kuukir kenangan kita di atasnya
Untukmu, sajak ini kutabur bagai daun gugur
Darda Surya Pertama adalah penyair yang paling muda, lahir di Garut 9 Maret 1980. Tak banyak pesantren yang dimasukinya, namun di Riyaadlul Alfiyyah, yang terletak di pinggiran Garut, ia mondok cukup lama. Sekarang pun ia masih betah di
Ketika membaca puisi-puisi pertamanya pada akhir 1990-an, saya cukup kaget dibuatnya. Bagaimana tidak, dalam usia begitu muda dan proses belajar yang begitu singkat puisi-puisinya sudah menampakkan bentuk yang jelas. Ia sudah terampil menggunakan metafor, sudah lihai memainkan imaji dan canggih mengatur bunyi. Puisi-puisinya merdu, mengalir lancar seperti air, dengan sedikit liukan yang mengagetkan di
Saya kutipkan penggalan dari puisi panjangnya yang berjudul “Pelan-pelan Kamar Ini Beruban”, yang ditulis Darda Surya Pertama pada masa awal kepenyairannya:
Seperti biasa kami berkumpul dengan label di kepala
Pada malam yang diistimewakan tanggal dan almanak
Seseorang dari kami mulai menyalakan kalimat
Genderang perang meletup dengan memancakan cahaya biru
Asap-asap rokok mengalun, membentuk sebuah tarian
Meloncati sebuah jendela yang terbuka. Bersama pecahan kaca
Yang tercampakkan, kau hanyatersenyum
Dengan sajak dalam genggaman
Suasana mengerang dalam gemuruh ungu
Kata-kata berhamburan penuh kekhidmatan. Satu persatu
Sajak-sajak ditelanjangi dengan lugas. Di luar
Malam terbaring di antara nada-nada dingin
Tak ada hujatan yang membuat kalimat diperpanjang
Hanya sedikit kebodohan yang disembunyikan
Kaumasukan butiran cahaya di antara nama-nama
Yang tergeletak di atas lantai, kausingkirkan
Wangi mawar dari pamrih dan ketulusan
Seperti juga rekan-rekan seniornya, Diki A. Sodik sudah melanglang ke berbagai pesantren di Garut, Cianjur, Sukabumi dan Tasikmalaya. Setelah merasa mantap baru ia kembali ke kampungnya di Ciparay, ikut membantu berbagai kegiatan di Pesantren Baitul Arqom, menjadi seksi dakwah di karang taruna, di samping terus menulis puisi dan main musik. Penyair lajang yang dingin sama perempuan ini sangat tertarik pada tasawuf meski belum melibatkan diri sebagai pengikut kelompok tarekat. Hal ini tergambar jelas dari puisi-puisinya yang penuh kerinduan dan pencarian yang sifatnya eksistensial. Ia banyak menggunakan imaji-imaji alam dan keagamaan untuk mengartikulasikan kegelisahan batinnya. Kadang ia mengindentifikasikan dirinya sebagai musafir atau pengembara yang terus mencari, kadang sebagai mahluk sunyi yang dikutuk Tuhan ke muka bumi.
Membaca puisi-puisi Diki A. Sodik dalam antologi ini ada kesan bahwa ia sudah bekerja keras menggauli bahasa, sudah berlatih cukup lama menaklukan kata-kata. Dan hasilnya adalah puisi-puisi yang nyaris selesai secara teknis, meski di
Saya kutip penggalan dari salah satu puisinya yang menurut saya lumayan:
Maka setelah pelayaranmu
Dibiarkannya sebuah pintu terbuka
Dibiarkannya separuh usiaku membengkak
Hingga terhirup ribuan suara jengkerik
Mendendangkan genta malam
Demikianlah setelah doa-doa diterbangkan
Lututmu bergetar menerobos keheningan
Tinggal kelam mengeras pada lantai berkarat
Namun kau terus merenda pelangi dalam hutanku
Bagai batu kalimat-kalimatku terbujur kaku
Penyair terakhir adalah Topan Selatan, dari namanya kita sudah diberi isyarat bahwa pemuda tegap berkulit sawo matang ini kelahiran
Namun penyair yang satu ini orangnya rajin, mau kerja keras dan hidup prihatin. Pada beberapa puisi pendek misalnya, perjuangannya yang tak kenal lelah menaklukkan bahasa nampak membuahkan hasil: kata-katanya menyuratkan irama dan metafornya menyiratkan makna, seperti yang akan saya kutip sebagai penutup tinjauan ini. Singkat, padat namun menggoda: Tampilkan bayangan lain/Yang bukan di depanmu/Agar aku bebas menabur benih/Di ladang wanita itu…
(2006)