Share |

Artikel 7

PUISI DAN PIDATO


Acep Zamzam Noor


KANG Maman harus bersyukur karena tak lama setelah mondok di berbagai pesantren ia berhasil menyunting seorang gadis manis asal Jatiwangi. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah menyunting gadis manis itu, ia merintis sebuah pesantren bersama mertuanya yang pengusaha restoran. Kang Maman harus bersyukur karena tak lama setelah merintis pesantren dan mendirikan madrasah ia kemudian banyak diundang orang untuk memberikan ceramah. Kang Maman harus bersyukur karena selain fasih mengutip ayat-ayat suci, ceramah-ceramahnya pun segar, penuh kelakar dan selalu diakhiri dengan doa yang membuat orang menangis. Kang Maman harus bersyukur karena setelah ceramah-ceramahnya diminati banyak orang ia kemudian dipanggil kiai. Kang Maman harus bersyukur karena setelah dipanggil kiai, ia berkenalan dengan Ahmad Syubbanuddin Alwy. Kang Maman juga harus bersyukur karena setelah berkenalan dengan Ahmad Syubanuddin Alwy, tentu saja ia kemudian bersentuhan dengan puisi.


Mempunyai kemampuan berpidato adalah sebuah anugerah, begitu juga kemampuan menulis puisi. Dipanggil orang kiai adalah sebuah kehormatan, begitu juga dipanggil penyair. Antara kiai dan penyair ada perbedaan namun banyak juga persamaannya. D. Zawawi Imron, seperti yang kita kenal, penyair asal Madura ini puisi-puisinya sangat religius dan mutunya diakui para kritikus. Selain menulis puisi, ia juga banyak mengisi kolom-kolom keagamaan di berbagai media. Ia sangat akrab dengan K.H. A. Mustofa Bisri, juga dengan kiai-kiai terkenal lainnya. Tentu saja ia sangat fasih mengutip ayat-ayat suci karena memang jebolan pesantren. Tapi berbeda dengan kebanyakan mubalig yang sudah dipanggil kiai dalam usia muda, Zawawi Imron baru dipanggil kiai setelah usianya melewati angka 55.


Sementara Abdul Hadi W.M. yang tulisan-tulisan keagamaannya sangat menyentuh, puisi-puisi sufistiknya sangat menggetarkan serta kajian-kajian teologi maupun tasawufnya sangat mendalam, belum juga dipanggil kiai meskipun rambutnya sudah memutih semua. Begitu juga dengan Taufiq Ismail, yang semua orang tahu puisi-puisinya selalu menyeru pada kebenaran dan memerangi segala macam kemungkaran. Penyair ini juga dikenal sangat alim, taat beribadah, suka memakai peci, sering pergi ke tanah suci dan tidak pernah keluyuran malam hari. Namun entah kenapa sampai saat ini belum ada yang memanggilnya kiai.


Sebenarnya sebutan kiai tidak selalu ada hubungannya dengan kealiman atau ketaatan beribadat seseorang. Juga tidak selalu ada hubungannnya dengan ilmu agama atau dunia kepesantrenan. Sebutan kiai terdapat juga pada budaya yang sedikit banyak punya hubungan dengan dunia mistik. Dalam tradisi Jawa banyak benda-benda pusaka seperti gamelan, keris, pedang, tombak, kereta kencana sampai peralatan dapur dinamai kiai. Begitu juga dengan binatang-binatang piaraan yang dianggap keramat seperti gajah, kerbau atau kuda. Bahkan sebutan kiai juga bisa ditujukan kepada pohon beringin, tempat-tempat angker seperti hutan atau bukit. Di keraton Yogyakarta semua benda pusaka dinamai kiai, begitu juga dengan binatang piaraan. Di pinggiran kota Magelang ada sebuah bukit yang dinamai Kiai Langgeng, konon karena di bukit tersebut ada sebuah makam keramat.


Dengan demikian sebutan kiai bukan hanya milik orang yang dianggap menguasai ilmu agama saja. Dalang, pemusik karawitan, penari tradisional, pendekar silat, dukun atau orang pintar juga biasa disebut kiai atau kadang hanya disingkat “ki” saja. Sebutan kiai atau ki muncul sebagai bentuk penghormatan terhadap benda, binatang atau manusia yang dianggap keramat dan diyakini bisa memberikan berkah atau kebaikan pada orang banyak. Begitu juga sebutan kiai dalam dunia kepesantrenan. Sebutan kiai tidak hanya diberikan pada orang yang alim saja, namun lebih-lebih pada mereka yang telah mengabdikan sebagian besar hidupnya untuk masyarakat. Seorang yang berilmu tinggi namun tidak mau menerjunkan diri ke tengah masyarakat tidak akan pernah dipanggil kiai.


Dalam konteks ini sebutan kiai menjadi semacam anugerah atau gelar kehormatan untuk seseorang yang dianggap berjasa pada masyarakat. Seseorang yang menjadi tempat bertanya, tempat mengadu dan berlindung masyarakat di sekitarnya. Seseorang yang telah mampu mencerahkan masyarakatnya dalam banyak hal. Seseorang yang telah menjadi “sesuatu” yang bermanfaat bagi orang banyak. Dan tentu saja pihak yang pantas memberikan anugerah atau gelar tersebut hanyalah masyarakat, bukan pemerintah, bukan universitas, bukan media massa, juga bukan pesantren apalagi diri sendiri seperti yang banyak terjadi belakangan ini.


Maka jelaslah kenapa Abdul Hadi W.M. yang rambutnya sudah memutih semua masih belum dipanggil kiai. Kenapa Taufiq Ismail yang dikenal sangat alim, taat beribadat dan lewat puisi-puisinya selalu mengajak orang untuk kembali ke jalan yang benar, juga tak kunjung dipanggil kiai. Sementara Emha Ainun Nadjib yang jauh lebih muda (tentu saja rambutnya lebih gondrong) dibanding kedua penyair senior tadi malah sering dipanggil kiai, meski dengan mebel-embel mbeling. Cerita mungkin akan lain seandainya Abdul Hadi W.M. dan Taufiq Ismail aktif juga berkhotbah, memberikan ceramah agama, mengisi pengajian di masjid-masjid atau mengasuh majlis ta’lim.


Rasanya menarik jika membandingkan pidato dengan puisi, atau membandingkan mubalig dengan penyair. Pidato sebenarnya lebih dekat pada teater ketimbang sastra, sedang mubalig lebih mirip aktor ketimbang penyair. Maka seperti halnya aktor, seorang mubalig dituntut mempunyai vokal yang bagus, gerak tubuh yang lentur, juga stamina serta daya ingat yang tinggi. Seperti halnya aktor yang diharuskan menghapal naskah di luar kepala, mubalig wajib menghapal ayat-ayat. Dan seperti halnya aktor, mubalig juga dituntut memikirkan performance, paham bagaimana mengatur tempo dan tahu kapan saatnya berimprovisasi. Oya, beberapa tahun yang lalu saya pernah iseng membikin naskah pidato dan diberikan pada seorang aktor. Dan ketika aktor itu ditampilkan bersama para mubalig, lengkap dengan kostum ala Pangeran Diponegoro, hasilnya ternyata luar biasa.


Lalu bagaimana dengan penyair? Penyair pada dasarnya hanyalah penggubah syair. Jadi tak berbeda jauh dengan pengarang pada umumnya. Namun dalam khasanah kesusastraan lama terdapat tradisi yang disebut sastra lisan, di mana selain menggubah mereka juga menembangkan syair-syair karyanya di depan publik. Dengan demikian banyak penyair (biasanya disebut pujangga) yang dikenal secara langsung oleh publiknya. Tradisi sastra lisan ini masih terus berlanjut sampai sekarang meski dengan istilah yang kemudian kita kenal sebagai pembacaan puisi.


Berbeda dengan pidato yang melibatkan publik luas, pembacaan puisi biasanya hanya digelar untuk forum-forum khusus dan terbatas. Dengan demikian popularitas seorang penyair pun menjadi khusus dan terbatas pula. Jika ada penyair paling terkenal di negeri ini melakukan poligami, mungkin reaksi publik dan media massa tak akan seramai jika Aa Gym kawin lagi. Begitu juga kalau penyair bercerai dengan istrinya, rasanya tak akan seheboh jika Rhoma Irama menceraikan Angel Lelga misalnya.


Kenapa penyair tak mudah digoyang urusan pribadi? Hal ini disebabkan karena penyair tidak dibentuk secara instan oleh media massa semacam televisi. Juga tidak dibesarkan oleh eforia para penggemar fanatiknya. Keberadaan penyair ditentukan nilai karya serta integritas kepenyairannya sendiri. Maka puisi-puisi Chairil Anwar akan terus dikenang sekalipun semua orang tahu kehidupan pribadinya berantakan. Begitu juga dengan Rendra yang karya-karyanya tetap diminati meskipun pernah berpoligami. Keberadaan seorang penyair di tengah masyarakat adalah ikon, bukan idol sebagaimana artis. Ini juga yang membedakan antara kiai dengan mubalig. Kiai itu sebenarnya ikon, bukan idol. Makanya tidak semua kiai adalah mubalig kondang, juga tidak semua mubalig kondang otomatis kiai.


***


Saya senang sekali ketika mendengar Kang Maman, sebutan akrab dari K.H. Maman Imanulhaq Faqieh, akan meluncurkan buku kumpulan puisi dan meminta saya menjadi salah seorang pembicaranya. Saya senang karena pergesekannya dengan sejumlah seniman telah memberi manfaat yang luar biasa. Kini dakwah-dakwah yang dilakukan Kang Maman menjadi lebih berbudaya, pidato-pidatonya pun lebih bernuansa. Kang Maman juga semakin akrab dengan berbagai jenis kesenian, baik tradisional maupun kontemporer. Dengan demikian visi keagamaannya semakin tercerahkan hingga mampu berapresiasi terhadap segala macam perbedaan, termasuk dalam hal keyakinan. Kang Maman tidak lagi menampilkan diri sebagai sosok pembela agama yang gampang menghakimi orang dengan salah dan benar. Puisi telah membuatnya memahami dan menghormati adanya keragaman. Hal inilah yang membuat saya merasa lega dan gembira.


Dalam forum diskusi ini saya tidak akan mengulas puisi-puisi Kang Maman secara langsung, itu sudah menjadi tugas rekan saya Ahmad Syubanuddin Alwy untuk membedahnya. Tugas utama saya justru menyoroti hal-hal yang terjadi dan berkembang di luar puisi. Menurut saya hal ini juga penting dibicarakan mengingat belakangan banyak terjadi kesalahpahaman tentang posisi dan peran kiai. Saya menduga, salah satu penyebabnya karena begitu banyak kepentingan (baik politis maupun ekonomis) yang telah ikut melakukan berbagai pelabelan terhadap kiai. Kita mendengar ada label kiai khos, ada label kiai mbeling, label kiai sejuta umat, label kiai gaul, label kiai selebritis, kiai modis, kiai politis dan semacamnya. Label-label yang kedengarannya ganjil itu kemudian berdampak seolah kiai tak ada bedanya dengan artis yang popularitasnya bisa diangkat secara instan dan kemudian jatuh secara instan pula. Diangkat ketika ratingnya di televisi tinggi, kemudian jatuh ketika sudah tidak laku lagi. K.H. Zainuddin M.Z. dan K.H. Abdullah Gymnastiar mungkin hanyalah contoh kecil dari kondisi ini.


Sebagai seorang teman yang mengapresiasi semua aktivitas dan kreativitas Kang Maman, saya ingin menutup tulisan ini dengan beberapa pesan. Pertama, teruslah menulis puisi karena menulis puisi itu menyehatkan. Bukan hanya menyehatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kedua, berhatilah-hatilah terhadap godaan politik praktis karena politik jenis itu sering menyesatkan. Bukan hanya menyesatkan bagi diri sendiri namun juga bagi orang lain. Kalau mau jujur, pada era sekarang belum ada seorang pun kiai yang sukses memberikan pencerahan dalam carut marut dunia perpolitikan kita. Alih-alih memberi pencerahan, malah masuk penjara karena terjebak korupsi. Ketiga, banyak-banyaklah bersyukur karena tidak semua orang bisa menjadi kiai sekaligus penyair. Menjadi kiai sekaligus penyair sudah merupakan nikmat yang besar, maka tidak perlu ditambah dengan label lain seperti broker politik atau tim sukses misalnya. Nanti malah ruwet jadinya.


(2007)

Prev Next Next